Sabtu, 29 Januari 2011

Antara Jilbab dan Kerudung

Diasuh Oleh:
Ust M Shiddiq Al Jawi |

Tanya :
Ustadz, apa bedanya jilbab dan kerudung?
Susi, Surabaya


Jawab :
Memang dalam pembicaraan sehari-hari umumnya masyarakat menganggap jilbab sama dengan kerudung. Anggapan ini kurang tepat. Jilbab tak sama dengan kerudung. Jilbab adalah busana bagian bawah (al-libas al-adna) berupa jubah, yaitu baju longgar terusan yang dipakai di atas baju rumahan (semisal daster). Sedang kerudung merupakan busana bagian atas (al-libas al-a'la) yaitu penutup kepala. (Rawwas Qal'ah Jie, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 124 & 151; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu'jam Al-Wasith, 2/279 & 529).

Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas perempuan muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Alquran yang berbeda. Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.
Mengenai jilbab, Allah SWT berfirman (artinya),"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min,'Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' (QS Al-Ahzab: 59). Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa'), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami'a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Walhasil, jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) "mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima'i fil Islam, hal. 45-46).
Jilbab ini merupakan busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum, seperti di jalan atau pasar. Adapun dalam kehidupan khusus, seperti dalam rumah, jilbab tidaklah wajib. Yang wajib adalah perempuan itu menutup auratnya, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, kecuali kepada suami atau para mahramnya (lihat QS An-Nur : 31).

Jumat, 28 Januari 2011

Doa, Ketaatan, dan Hidayah

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (TQS al-Baqarah [2]: 186).
Seorang Muslim yang benar, pasti tidak akan malas berdoa. Sebab, doa adalah ibadah (QS Ghafir [40]: 60). Bahkan dalam Hadits al-Tirmidzi disebut sebagai inti ibadah; al-du'â' mukh al-'ibâdah (doa adalah inti ibadah). Tak hanya itu, Allah juga menjanjikan akan mengabulkan doa yang dipanjatkan hamba-Nya. Tentu saja, untuk itu ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Penjelasan tentang hal tersebut dapat dijumpai dalam ayat ini. 

Allah Dekat dan Mengabulkan Doa
Allah SWT berfirman: Wa idzâ saalaka 'ibâdî 'annî fainnî qarîb (dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka [jawablah], bahwasanya Aku adalah dekat). Huruf al-kâf dalam ayat ini menunjuk kepada Rasulullah SAW. Sedangkan huruf yâ' al-mutakkalim (kata ganti pihak pertama), baik pada 'ibâdî maupun 'annî merujuk kepada Allah SWT. Sehingga, kata 'ibâdî menghasilkan makna umum, yakni semua hamba Allah SWT.

Ayat ini menjelaskan, jika ada hamba yang bertanya tentang Allah SWT, maka dijawab bahwa Dia itu qarîb (dekat). Menurut Sihabuddin al-Alusi, kata al-qurb secara hakiki bermakna dekat dalam pengertian tempat. Maha Suci Allah dari hal tersebut. Oleh karena itu, kata qarîb bermakna majâz. Maknanya, Dia mengetahui semua perbuatan dan ucapan hamba; serta memonitor semua keadaan mereka. Pengertian ini kian jelas jika dikaitkan dengan sebab nuzul ayat ini. Diriwayatkan dari Ubay bahwa kaum Muslim bertanya kepada Nabi SAW: Apakah Tuhan kita itu dekat sehingga cukup berucap dengan pelan ataukah jauh sehingga harus berteriak? Lalu turunlah ayat ini.

Dengan demikian, kata 'dekat' ini berkenaan dengan pengetahuan dan pendengaran Allah SWT terhadap hamba-Nya. Dia mendengar doa mereka dan melihat ketundukan mereka. Imam al-Qurthubi juga memak-nainya bahwa Dia memberikan pahala bagi ketaatan dan mengabulkan orang yang berdoa. Juga, mengetahui apa yang dikerjakan hamba-Nya, seperti puasa, shalat, dll. Pendapat senada dikemukanan al-Zamakhsyari yang menyatakan bahwa kata qarîb merupakan tamtsîl (perumpamaan) untuk menunjukkan kemudahan dikabulkannya doa. Menurut Fakhruddin al-Razi, hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah SWT: Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (TQS al-Hadid [57]: 4). Juga firman Allah SWT: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (TQS Qaf [50]: 11).

Kamis, 27 Januari 2011

KH Abdoelhalim: Penentang Penjajah yang Mandiri

Tidak mudah jadi pegawai pemerintah, termasuk menjadi Penghulu Landraad (semacam Kementrian Agama). Meskipun memiliki kecakapan yang diperlukan namun bila tidak memiliki koneksi dari dalam, tipis peluangnya untuk diterima. KH Abdoelhalim, kelak menjadi pendiri dan Ketua Persatuan Umat Islam (PUI), memiliki keduanya: ilmu-ilmu Islam dan koneksi dari dalam.

Bagaimana tidak, selama lima belas tahun ia belajar agama Islam, bahasa Arab, Belanda dan Cina. Sedangkan mertuanya adalah seorang Hoofd Penghulu Landraad (semacam Kepala Kantor Kementrian Agama) Majalengka. Namun ia segera menolak mentah-mentah ketika mertuanya itu menawarinya untuk menjadi pegawai pemerintah. Ia lebih memilih berdiri berseberangan dengan pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya sebagai penjajah itu.

Berjuang Lewat Organisasi
Abdoelhalim terlahir dengan nama Otong Sjatori pada tahun 1887 di Majalengka, Jawa Barat. Sekembalinya dari ibadah haji namanya berganti menjadi Abdoelhalim. Ayahnya bernama KH Moehammad Iskandar, penghulu Kewedanan Jatiwangi, dan ibunya Hajjah Siti Moetmainah binti Imam Safari. Ia menikah dengan Siti Moerbijah, putri KH Mohammad Ilyas, Hoofd Penghulu Landraad Majalengka.

Pada usia 10 tahun ia sudah belajar membaca Alquran dan menjadi santri pada beberapa kyai di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia 22 tahun. Kemudian ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mendalami ilmu agama selama tiga tahun. Tak tanggung-tanggung, yang menjadi gurunya pun adalah imam dan khatib Masjidil Haram yakni Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Ahmad Khayyat. Di sana pula ia bertemu dengan KH Mas Mansjoer dari Surabaya (tokoh Moehammadijah) dan KH Abdoel Wahab Hasboellah (tokoh Nahdatoel Oelama).

Pada tahun 1911 ia kembali ke Indonesia dan mendirikan Majlis Ilmoe. Di atas tanah wakaf mertuanya, ia membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri. Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi bernama Hajatoel Qoeloeb yang beranggotakan para tokoh masyarakat, santri, pedagang, dan petani. Adapun tujuan organisasi adalah membantu anggota dalam persaingan dengan pedagang Cina, sekaligus menghambat arus kapitalisme kolonial.

Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai pemerintah sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina).

Pada 16 Mei 1916 Abdoelhalim mendirikan Jam'iyah I'anah al Muta'alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Jam'iyah ini pun bekerja sama dengan Jamiat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi dari masyarakat, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan.

Ia pun tak patah arang dengan dorongan dari sahabatnya, Ketua Sjarikat Islam saat itu HOS Tjokroaminoto, pada tahun itu juga ia mendirikan Persjarikatan Oelama (PO). Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 21 Desember 1917.

Abdoelhalim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasikannya dengan mendirikan Pesantren Santi Asromo pada April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka.

Santi Asromo (bahasa Kawi, Jawa kuno: tempat pendidikan yang sunyi dan damai), pelopor pesantren modern yang mencetak santri plus, yang saat itu belum terpikirkan orang. Pesantren ini merupakan tindak lanjut dari Hasil Kongres PO di Majalengka yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan Abdoelhalim terhadap hasil pendidikan pesantren pada masa itu.

Di samping itu, pendirian pesantren ini pun didorong oleh kenyataan banyaknya orang pribumi yang sulit mengecap pendidikan di sekolah-sekolah. Pesantren Santi Asromo termasuk pembaru kurikulum pesantren, karena sejak didirikan, telah meninggalkan sistem pendidikan tradisional yang khusus memberikan pelajaran agama.

Pesantren Santi Asromo dibangun di tempat yang jauh dari keramaian Kota Majalengka. Para santri selain diberi pelajaran agama juga diberi pelajaran umum dan dibekali pendidikan keterampilan seperti bercocok tanam, bertukang kayu, kerajinan tangan, dan lain-lain. Siswa juga wajib tinggal di asrama selama 5 sampai 10 tahun.

Pada tahun 1942 ia mengubah PO menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi Persatuan Umat Islam (PUI), yang berpusat di Bandung.

Berjuang dengan Senjata
Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang keras berdirinya Negara Pasoendan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda.

Pada masa perang kemerdekaan, KH Abdoelhalim bergerilya bersama pejuang lainnya mempertahankan kemerdekaan dengan basis di sekitar Gunung Ciremai. Ia langsung memimpin anak buahnya menghadang gerakan militer Belanda (NICA). Pada waktu itulah ia diangkat menjadi "Bupati Masyarakat" Majalengka dan memimpin rakyat melawan NICA.

Lokasi Santi Asromo, dianggap NICA sebagai pusat pertahanan TNI dan lasykar sehingga sebagian hancur karena dibom NICA. Abdoelhalim, anak dan menantunya ditangkap Belanda. Namun ia tetap tidak mau menyerah atau bekerja sama dengan NICA dan ia pun berhasil kabur. Ia menentang gerakan Haji Syarip yang mendukung Belanda. Ia pun diangkat menjadi panitia penggempuran Negara Pasoendan hasil rakayasa Van Mook.

Setelah perang kemerdekaan usai, dan negara aman, perjuangan melalui organisasi PUI dilanjutkan kembali. Pada tahun 1952, dilakukan fusi antara Persatuan Umat Islam (PUI) dan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), meskipun KH Ahmad Sanoesi, sahabatnya, sudah wafat waktu itu. Fusi dilakukan tepatnya pada 5 April 1952, di Bogor. Hasil fusi lahirlah Persatuan Ummat Islam (PUI) dan KH Abdoelhalim terpilih sebagai Ketua.

Pada tahun-tahun berikutnya kegiatan PUI banyak mendapat hambatan. Kondisi kesehatan KH Abdoelhalim semakin menurun, dan pada 17 Mei 1962, ia meninggal dunia di Santi Asromo.

Berjuang dengan Tulisan
Abdoelhalim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota PO dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi Belanda kedua.

Ia pun pernah menjadi pemimpin redaksi dan penanggung jawab majalah Soeara PO, majalah As Sjoero, majalah Pelita. Tulisannya pun seringkali dimuat di Soeara Moeslimin Indonesia, Al Kasjaaf, Pengetahoen Islam.

Di dalam tulisa-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdoelhalim tentang gagasan dan cita-citanya. Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdoelhalim bersumber dari penafsirannya tentang konsep As Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut As Salam.

Berdasarkan pengertian ini, Abdoelhalim melihat, bahwa kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitannya dengan keselamatan hidup di dunia, karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di akhirat, terlebih dahulu manusia mesti hidup selamat di dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan agama (Abdoelhalim: 1938). Makanya, menurut Abdoelhalim antara kedua macam kehidupan tersebut, terdapat hubungan kausalitas (timbal-balik).[] joy/ sumber utama: Pemikiran dan Kiprah Pendidikan KH Abdul Halim (1887-1962) karya wildan hasan 

Sumber : mediaumat.com

Rabu, 26 Januari 2011

Jangan Tertipu Keindahan Dunia

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas (QS al-Baqarah [2]: 212).
Gemerlap dunia memang indah. Berbagai kenikmatan di dalamnya juga dapat melenakan. Bagi orang-orang yang tidak meyakini akhirat, kenikmatan dunia adalah segala-galanya. Seandainya bisa, niscaya mereka akan mengejarnya hingga habis tak bersisa. Namun sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa sikap itu akan berbuah sengsara. Di akhirat kelak, siksaan pedih akan didapatkan. Berbahagialah orang yang menjalani kehidupan dengan panduan petunjuk-Nya. Realitas ini digambarkan dalam ayat di atas.


Orang Kafir Tertipu Dunia
Allah SWT berfirman: Zuyyina li al-ladzîna kafarû al-hayâtu al-dunyâ (kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir). Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan al-ladzîna kafarû adalah kaum musyrik Arab, seperti Abu Jahal dan tokoh-tokoh musyrik lainnya. Sebagian lainnya lebih memilih bahwa orang kafir di sini mencakup seluruh orang kafir. Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Sebab, lafadz al-ladzîna kafarû bersifat umum sehingga mencakup semua orang ber-status kafir.

Diberitakan dalam ayat ini, kehidupan dunia dibuat terlihat indah oleh mereka. Kata zuyyina merupakan bentuk mabniyy li al- majhûl (kata kerja yang tidak disebutkan pelakunya). Berasal dari kata zayyana, yang menurut al-Raghib al-Asfahani berarti menampakkan kebaikan. Sihabuddin al-Alusi juga memaknainya “diwujudkan kebaikan dan dijadikan kecintaan dalam hati mereka”. Itu artinya, kehidupan dunia di mata orang-kafir demikian indah, hingga hati mereka benar-benar terpaut dengannya.

Menurut al-Zamakhsyari, al-muzayyin (yang membuat indah) kehidupan indah bagi orang kafir itu adalah syetan. Di samping syetan, menurut al-Syaukani juga jiwa yang kuat mencintai dunia. Dalam ayat lainnya memang diberitakan bahwa tindakan itu merupakan tekad yang diikrarkan iblis ketika dirinya diusir dari surga. Ucapan makhluk terlaknat disitir dalam firman-Nya: Iblis berkata, "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (TQS al-Hijr [15]: 39).

Bahwa kehidupan dunia terlihat indah, memang demikianlah faktanya. Hal ini juga ditegaskan dalam firman-Nya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia (TQS al-Kahfi [18]: 46). Allah juga tidak melarang manusia untuk mengecap kenikamatan dunia. Allah berfirman: Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengha-ramkan) rezeki yang baik?" (TQS al-A'raf [7]: 32).

Kendati demikian, keindahan dan kenikmatan dunia itu tidak boleh membuat manusia menjadi terlena dan berpaling dari ibadah kepada Allah SWT. Lupa kehidupan akhirat sehingga tidak menyiapkan amal shalih sebagai bekalnya. Bahkan demi memperoleh kenikmatan dunia itu, berani menabrak ketentuan syariah-Nya. Sikap inilah yang terjadi pada orang kafir.

Kecintaan berlebihan kaum kafir terhadap dunia digambarkan dalam banyak ayat lainnya. Mereka suka menumpuk dan menghitung-hitung harta karena mengira itu dapat membuatnya kekal (lihat QS al-Humazah [104]: 5). Mereka juga bermegah-megahan dan berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Padahal semua itu bersifat fana dan dapat musnah sewaktu-waktu. Mereka telah tertipu. Sebab, kehidupan dunia memang hanyalah kesenangan yang menipu (lihat QS al-Hadid [57]: 20).

Tidak hanya tertipu oleh keindahan dunia, mereka pun menganggap hina kaum Muslim. Allah SWT berfirman: wa yaskhar-ûna min al-ladzîna âmanû (dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman). Dalam menjalani kehidupannya di dunia, orang Mukmin terikat de-ngan berbagai ketentuan syariah. Segala yang haram, seperti riba, khamr, zina, dll, dijauhi meskipun tampak menyenangkan. Seorang Mukmin juga disibukkan oleh berbagai aktivitas ibadah, dakwah, jihad, dan urusan akhirat. Pola kehidupan seperti ini sudah barang tentu membuat orang kafir itu merasa geli. Terlebih ketika melihat sebagian kaum Muslim yang miskin. Mereka pun mengang-gapnya hina dan rendah, seperti yang dilakukan tokoh-tokoh musyrik Arab terhadap Ibnu Mas'ud, Ammar bin Yasin, Suhaib, Bilal, dll. Tak hanya itu, mereka bahkan menyebut kaum Muslim sebagai orang yang sesat (lihat QS al-Muthaffifin [83]: 32).

Orang Mukmin Lebih Tinggi
Tudingan mereka itu jelas salah besar. Yang terjadi justru sebaliknya. Bukan kaum Muslim rendah dan sesat, namun merekalah justru yang rendah dan sesat. Allah SWT berfirman: wa al-ladzîna [i]ttaqaw fawqahum yawm al-qiyâmah (padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat). Orang-orang yang bertakwa adalah orang yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang taat terhadap semua ketentuan syariah.

Ditegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang bertakwa itu fawqahum pada hari kiamat. Menurut al-Syaukani, kata fawqahum (di atas mereka) di sini bermakna al-'uluww fî al-darajah (ketinggian dalam derajat). Sebab, orang-orang bertakwa berada di surga, sebaliknya orang-orang kafir tinggal di neraka. Dijelaskan al-Zamakhsyari, disebutkannya al-ladzîna [i]ttaqaw sesudah al-ladzîna âmanû menunjukkan, tidak ada yang memperoleh kebahagiaan kecuali orang Mukmin yang ber-takwa. Penyebutan itu juga sekaligus memberikan dorongan kepada kaum Mukmin agar dia bertakwa tatkala mendengar berita itu.

Kehidupan akhirat merupakan dâr al-jazâ (negeri pembalasan). Dan balasan itu benar-benar adil. Orang-orang kafir yang selama di dunia diberikan banyak harta, anak, dan kekuasaan, di akhirat dihukum dengan azab yang pedih. Hukuman itu sebagai balasan atas semua kejahatan yang dilakukan. Sementara, orang Muslim yang semasa di dunia ada yang lemah dan miskin, nasibnya berubah total. Maka mereka pun balik menertawakan kaum kafir. Allah SWT berfirman: Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir (TQS al-Muthaffifin [83]: 34).

Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: wal-Lâh yarzuqu man yasyâ' bi ghayri hisâb (dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas). Menurut Ibnu 'Ab-bas ra, sebagaimana dikutip al-Khazin, frase ini bermakna: Allah SWT memberikan rezeki yang amat banyak. Sebab, kata bi ghayri hisâb bermakna katsîr (banyak). Sebaliknya, jika dapat dihitung berarti qalîl (sedikit). Maknanya: Allah SWT meluaskan rezeki-Nya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dengan penegasan ini, kaum Muslim tak perlu bersedih hati ketika ditimpa kemiskinan. Sebaliknya, ketika mendapatkan rezeki melimpah, juga tidak boleh sombong dan lupa diri. Sebab, otoritas pemberian rezeki mutlak di tangan Allah SWT. Dialah yang meluaskan atau menyempitkan rezeki kepada man yasyâ' (orang-orang yang dikehendaki-Nya).

Demikianlah sikap kaum kafir dalam memandang kehidupan dan kaum Muslim. Semoga kita tidak terpengaruh oleh pandangan dan gaya hidup mereka yang menyesatkan. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb. 


Ikhtisar:

  1. Orang kafir tertipu dengan keindahan dunia seraya melupakan kehidupan akhirat.
  2. Kaum Muslim yang dipandang rendah oleh kaum kafir sesungguh-nya lebih tinggi derajatnya dibanding mereka.
  3. Berkaitan dengan rezeki, seseorang tak perlu terlalu bangga atau ber-sedih hati. Sebab, Dialah yang mem-berikan sesuai dengan kehendak-Nya.

Hukum Memberi Uang Kepada Pengemis

Diasuh Oleh:
Ust M Shiddiq Al Jawi


Tanya :
Ustadz, bagaimana hukumnya memberi uang kepada pengemis?
Tyo, Jakarta
Jawab :
Memberi uang kepada pengemis dapat dianggap bersedekah. Maka hukumnya sunnah, karena bersedekah hukum asalnya sunnah. Wahbah az-Zuhaili berkata, ”Sedekah tathawwu' (sedekah sunnah/bukan zakat) dianjurkan (mustahab) dalam segala waktu, dan hukum-nya sunnah berdasarkan Alquran dan As-Sunnah.” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/389).
Dalil Alquran antara lain (artinya), ”Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,  pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (TQS Al-Baqarah [2] : 245). Dalil As-Sunnah misalnya sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa memberi makan orang lapar, Allah akan memberinya makanan dari buah-buahan surga. Barangsiapa memberi minuman kepada orang haus, Allah pada Hari Kiamat nanti akan memberinya minuman surga yang amat lezat (ar-rahiq al-makhtum), dan barangsiapa memberi pakaian orang yang telanjang, Allah akan memberinya pakaian surga yang berwarna hijau (khudhr al-jannah).” (HR Abu Dawud no 1432; Tirmidzi no 2373).
Namun hukum asal sunnah ini bisa berubah bergantung pada kondisinya. Sedekah dapat menjadi wajib. Misalnya ada pengemis dalam kondisi darurat (mudhthar), yakni sudah kelaparan dan tak punya makanan sedikit pun, sedang pemberi sedekah mempunyai kelebihan makanan setelah tercukupi kebutuhannya. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/390). Dalam kondisi seperti ini, sedekah wajib hukumnya. Sebab jika tak ada cara lain menolongnya kecuali bersedekah, maka sedekah menjadi wajib, sesuai kaidah fiqih: “Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib.” (Jika suatu kewajiban tak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). (Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, 1/111).
Sedekah dapat menjadi haram hukumnya, jika diketahui pengemis itu akan menggunakan sedekah itu untuk kemaksiatan. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, 3/390). Misalnya, digunakan untuk berjudi, berzina, atau minum khamr. Hukum sedekah dalam kondisi ini menjadi haram, karena telah menjadi perantaraan (wasilah) pada yang haram. Kaidah fikih menyebutkan,”Al-Wasilah ila al-haram haram.” (Segala perantaraan menuju yang haram, haram hukumnya). (M. Shidqi al-Burnu, Mausu'ah Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah, 12/200).
Sedekah kepada pengemis juga menjadi haram, jika diketahui pengemis itu tidak termasuk orang yang boleh mengemis (meminta-minta), misalnya bukan orang miskin. Dalam masalah ini ada dalil khusus yang mengharamkan meminta-minta, kecuali untuk tiga golongan tertentu. Sabda Nabi SAW, ”Meminta-minta tidaklah halal kecuali untuk tiga golongan : orang fakir yang sangat sengsara (dzi faqr mudqi'), orang yang terlilit utang (dzi ghurm mufzhi'), dan orang yang berkewajiban membayar diyat (dzi damm muuji').” (HR Abu Dawud no 1398; Tirmidzi no 590; Ibnu Majah no 2198). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 194).
Jadi kalau seorang pengemis sebenarnya bukan orang miskin, haram baginya meminta-meminta. Demikian pula pemberi sedekah, haram memberikan sedekah kepadanya, jika dia mengetahuinya. Dalam kondisi ini pemberi sedekah turut melakukan keharaman, karena dianggap membantu pengemis tersebut berbuat haram. Kaidah fikih menyebutkan : “Man a'ana 'ala ma'shiyyatin fahuwa syariik fi al itsmi” (Barangsiapa membantu suatu kemaksiatan, maka dia telah bersekutu dalam dosa akibat kemaksiatan itu.). (Syarah Ibnu Bathal, 17/207). Wallahu a'lam.[]

Menggugat Kebohongan Rezim dan Sistem Sekular

[Al Islam 541] Sebagaimana ramai diberitakan beberapa waktu lalu, sekitar 100 tokoh nasional berkumpul di Jakarta, Senin (17/1/2011), dengan agenda khusus membahas kebohongan Pemerintahan SBY-Boediono. Penggagas pertemuan ini adalah mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli.
Rizal menjelaskan, kebohongan Pemerintah tak bisa dibiarkan. Karena itu, para tokoh ini membulatkan tekad untuk menyatakan kebenaran, sebagaimana dilakukan para tokoh lintas agama sebelumnya.
Sebelumnya sejumlah tokoh lintas agama memang menuding Pemerintah melakukan sejumlah kebohongan. Terdapat 18 butir kebohongan Pemerintah menurut versi mereka. Mereka yang mengeluarkan pernyataan itu antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, mantan pendiri Ma’arif Institute Syafii Ma’arif, Ketua KWI Mgr Martinus Situmorang, Pendeta Andreas Wewangoe, Bikkhu Pannyavaro, KH Salahuddin Wahid (ulama NU), pemuka Hindu I Nyoman Udayana Sangging, Romo Franz Magnis Suzeno dan Romo Benny Susetyo (Inilah.com, 17/1/2011).
Daftar Kebohongan Pemerintah
Di bidang ekonomi, misalnya, Pemerintah mengklaim berhasil mengurangi angka kemiskinan yang sebelumnya mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal data penerima raskin (beras untuk rakyat miskin) pada tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan Jamkesmas mencapai 76,4 juta jiwa. Di sisi lain, kita pun dikejutkan oleh makin maraknya kasus gizi buruk, kasus stres/depresi dan bunuh diri karena lilitan masalah kemiskinan, dll.
Di bidang pendidikan, UU Sisdiknas mengharuskan anggaran pendidikan mencapai 20% dari alokasi APBN di luar gaji guru dan dosen. Kenyataannya, hingga kini anggaran gaji guru dan dosen masih termasuk dalam alokasi 20% APBN tersebut.
Di bidang sosial, Presiden SBY menjanjikan penyelesaian kasus lumpur Lapindo dalam Debat Calon Presiden Tahun 2009. Faktanya, penuntasan kasus lumpur Lapindo berjalan di tempat. Sebagian korban lumpur Lapindo sampai hari ini belum juga mendapatkan ganti rugi yang seharusnya.
Di bidang hukum, SBY berkali-kali menjanjikan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Faktanya, riset ICW menunjukkan bahwa dukungan pemberantasan korupsi oleh Presiden dalam kurun September 2009 hingga September 2010 hanya 24% yang mengalami keberhasilan.
Secuil di antara sejumlah kebohongan di atas seakan melengkapi sejumlah kebohongan lama Pemerintah SBY periode sebelumnya (2004-2009). Sepanjang periode tersebut Pemerintah SBY pernah antara lain mengklaim: Pertama, harga BBM diturunkan hingga 3 kali (2008-2009); pertama kali sepanjang sejarah. Faktanya, pertama kali juga dalam sejarah Pemerintah menjual BBM termahal Rp 6000 perliter.
Kedua, perekonomian terus tumbuh di atas 6% pertahun; tertinggi setelah Orde Baru. Faktanya, pertumbuhan di atas 6% hanya terjadi pada tahun 2007 dan 2008, sedangkan pada tahun 2005 (5.6%), 2006 (5.5%) dan 2008 di bawah 5%. Lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi tidaklah berdampak pada meningkatnya kesejahteraan rakyat.
Ketiga, rasio utang negara terhadap PDB terus turun dari 56% pada tahun 2004 menjadi 34% pada tahun 2008. Faktanya, secara absolut utang negara naik 33% dari Rp 1.275 triliun pada 2004 menjadi Rp 1.700 triliun pada Maret 2009. Hingga saat ini, Pemerintah masih setia membayar utang najis serta pengelolaan penarikan utang luar negeri yang bermasalah seperti dilaporkan BPK dan KPK.
Itulah secuil kebohongan Pemerintah SBY, baik periode sekarang maupun pada periode sebelumnya. Masih banyak kebohongan lain yang dilakukan Pemerintah, yang diungkap oleh para tokoh maupun para pengamat serta diungkap oleh berbagai media.
Akibat Kebohongan Sistem
Sebagaimana diketahui, sejak awal berdirinya, negeri ini menerapkan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) sebagai dasarnya. Sekularisme adalah warisan penjajah. Sejak awal sekularisme adalah paham yang penuh dengan kebohongan. Sebab, paham ini menegaskan bahwa manusia mampu mengatur dunia ini tanpa campur tangan Tuhan. Bahkan Tuhan (baca: agama) dilarang mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Segala urusan-kecuali urusan ritual/ibadah-seperti urusan ekonomi, politik, pendidikan, sosial, budaya, dll harus diserahkan kepada manusia untuk mengaturnya.
Jelas, sekularisme adalah paham yang bohong. Sebab, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang lemah; mustahil mengatur kehidupan ini dengan aturan yang dia buat sendiri. Jangankan untuk mengatur sendiri kehidupannya, untuk memahami hakikat dirinya pun manusia tidak akan mampu. Hanya Allahlah yang paling memahami hakikat manusia dan kehidupan ini. Dialah Yang Mahatahu atas apa yang terbaik bagi manusia. Sebab, Dialah Pencipta manusia dan seluruh jagat raya ini. Karena itu, hanya Allah SWT-lah yang berwenang mengatur kehidupan manusia. Faktanya, Allah SWT telah menurunkan wahyunya berupa al-Quran, yang memang difungsikan untuk mengatur kehidupan manusia agar meraih kebahagiaannya yang sejati, di dunia dan akhirat.
Paham sekularisme ini kemudian melahirkan ideologi Kapitalisme. Kapitalisme melahirkan seperangkat aturan (sistem) yang dibuat oleh manusia: di bidang ekonomi lahir sistem ekonomi kapitalis; di bidang politik lahir sistem demokrasi; di bidang sosial-budaya lahir sistem sosial-budaya yang liberal; di bidang pendidikan lahir sistem pendidikan sekular (yang jauh dari agama); dst.
Faktanya, Kapitalisme juga adalah ideologi dan sistem yang penuh dengan kebohongan. Di bidang ekonomi, sistem ekonomi kapitalis sering mengklaim ihwal kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua manusia. Faktanya, sistem ini gagal mensejahterakan umat manusia, kecuali segelintir saja. Di Indonesia, misalnya, jelas jauh lebih banyak orang miskin ketimbang orang kaya. Ini karena sumberdaya alam milik rakyat yang melimpah-ruah banyak dikuasai dan dinikmati segelintir orang, terutama pihak asing, daripada dinikmati oleh rakyat sebagai pemiliknya. Ironisnya, semua ini dilegalkan oleh negara melalui UU yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah. Wajarlah jika ekonomi kapitalis makin menambah jumlah orang miskin. Diperkirakan lebih dari 100 juta orang di negeri ini berstatus miskin meski negeri ini terkenal sangat kaya dengan sumberdaya alamnya.
Di bidang politik, sistem demokrasi hanya melahirkan banyak kekacauan politik. Dalam teori, dalam demokrasi katanya kedaulatan ada di tangan rakyat. Faktanya, DPR sebagai lembaga wakil rakyat justru banyak memproduksi UU yang menindas rakyat dan lebih memihak para pemilik modal. Di Indonesia UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Listrik, UU Sumberdaya Air, dan banyak UU lainnya lebih banyak untuk memenuhi kepentingan pemilik modal daripada kepentingan rakyat. Pada akhirnya, Pemerintah pun melahirkan banyak kebijakan yang menzalimi rakyat sekaligus memanjakan para pemilik modal tersebut. Karena itu, wajar jika kenaikan harga BBM dan tarif listrik, misalnya, menjadi tradisi setiap rezim penguasa dalam sistem demokrasi ini; tak peduli bahwa kebijakan tersebut selalu menjadikan rakyat sebagai korbannya. Alhasil, kedaulatan rakyat dalam demokrasi juga bohong belaka.
Di sisi lain, di negeri yang menjadi jawara demokrasi ini, demokrasi menyuburkan korupsi dan melahirkan banyak koruptor. Sebagaimana diberitakan, 17 dari 33 gubernur di Indonesia (lebih dari 50%)-yang notabene dipilih secara demokratis, bahkan langsung-menjadi tersangka karena tersangkut korupsi. Sepanjang 2010 saja total kepala daerah (bupati/walikota dan gubernur) yang menjadi tersangka adalah 155 orang dari 244 kepala daerah (Vivanews.com, 17/1/2011).
Di bidang sosial-budaya, kebebasan (liberalisme) yang diagung-agungkan juga tidak menciptakan masyarakat yang beradab, tetapi malah melahirkan masyarakat yang tak beradab. Di negeri ini, menurut studi BKKBN tahun 2010, 51 dari 100 remaja (yakni 51%) di Jabodetabek telah melakukan hubungan seks bebas. Belum lagi banyaknya kasus sosial lain seperti maraknya kasus perselingkuhan yang berujung pada perceraian, pelacuran, perselingkuhan yang berujung perceraian, pornografi-pornoaksi, kekerasan dalam rumah tangga, dll.
Dari secuil fakta di atas, jelas Kapitalisme adalah ideologi yang penuh dengan kebohongan, karena memang lahir dari paham sekularisme yang juga paham dusta!
Islam: Ideologi dan Sistem yang Benar
Bertolak belakang dengan Kapitalisme-sekularisme sebagai ideologi yang penuh dengan kebohongan, Islam adalah satu-satunya ideologi yang benar, karena bersumber dari Zat Yang Mahabenar, Allah SWT. Mahabenar Allah SWT Yang berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124).
Kapitalisme-sekularisme adalah ideologi/sistem yang berpaling dari al-Quran. Karena itu, wajar jika ideologi/sistem ini hanya melahirkan kesempitan hidup bagi manusia di segala bidang: kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kriminalitas, perilaku amoral, dll.
Mahabenar pula Allah SWT Yang berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Ayat ini menegaskan bahwa hanya hukum Allahlah (syariah Islam) yang terbaik, tak ada yang lain. Pertanyaannya: Masihkah kita ragu dengan hukum Allah atau syariah Islam ini? Masihkah kita tetap lebih yakin dengan Kapitalisme-sekularisme yang terbukti merupakan ideologi yang penuh dengan kebohongan? Tentu tidak! Jika demikian, mari kita bersegera menerapkan syariah-Nya-tentu dalam institusi Khilafah-sekarang juga. Jangan lagi ditunda! []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Sejumlah LSM mendirikan sejumlah Rumah Pengaduan Pembohongan Publik terkait dengan adanya sejumlah kebohongan Pemerintah (Republika, 25/1/2011).
(1) Kebohongan Pemerintah memang harus digugat. Namun, Kapitalisme-sekularisme yang menjadi biang kegagalan negara ini juga wajib dipersoalkan. (2) Negara yang gagal ini sesungguhnya membutuhkan solusi. Solusinya tidak lain adalah syariah Islam, yang wajib diterapkan oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan.

Jumat, 21 Januari 2011

Mengadopsi Anak Menurut Hukum Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.

Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya.

Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.

Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini.

Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Fatwa itu menjadi salah satu hasil Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung Maret 1984. Pada salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).

Hanya saja, MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi) anak, ja ngan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.

Seperti surat al-Ahzab ayat 4, "Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar." Begitu pula surat al-Ahzab ayat 5, "Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maulamaula (hamba sahaya yang di merdekakan)." Surat al-Ahzab ayat 40 kembali menegaskan, "Muhammad itu sekalikali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantaramu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutub nabi-nabi.

Dan Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu." Nabi Muhammad SAW bersabda, "Dan Abu Dzar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, "Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur." (HR Bukhari dan Muslim) Dalam fatwanya MUI memandang, mengangkat anak hendaknya tidak lantas mengubah status (nasab) dan agamanya. Misalnya dengan menyematkan nama orangtua angkat di belakang nama si anak. Rasulullah telah mencontohkan. Beliau tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang namanya dan tidak lantas mengubahnya dengan nama bin Muhammad.

MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri. Ini adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh.

"Tidak diragukan lagi bahwa usaha semacam itu merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi pahala," demikian fatwa MUI. Nantinya, bagi ayah angkat, boleh mewasiatkan sebagian dari peninggalannya untuk anak angkatnya, sebagai persiapan masa depannya, agar ia merasakan ketenangan hidup. Para ulama di Tanah Air telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing, selain bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah."

Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya." Qatadah berkata, siapapun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra Muhammad". (Khazin, Juz Vi hlm 191) "Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris," papar ulama NU dalam fatwanya.

Kamis, 20 Januari 2011

Menjual Harta dengan Manfaat

Pertanyaan:
Di dalam asy-Syakhshiyah juz 2 hal 318 dinyatakan sebagai berikut: “… maka tidak boleh menjual hewan dengan (harga) menempati rumah selama setahun, misalnya. Akan tetapi sah menyewakan kebun dengan (sewa berupa) menempati rumah. Karena jual beli adalah pertukaran harta. Pertukaran harta dengan manfaat (jasa) tidak dianggap sebagai jual beli. Berbeda dengan ijarah. Ijarah adalah akad atas manfaat dengan mendapat kompensasi. Dan kompensasi itu tidak mesti berupa harta, akan tetapi kadang berupa manfaat (jasa) …”
Dan di dalam an-Nizhâm al-Iqtishâdî hal 270 dinyatakan sebagai berikut: “… Islam ketika menetapkan hukum-hukum jual beli dan ijarah, tidak menentukan untuk pertukaran harta atau pertukaran tenaga dan manfaat itu, sesuatu tertentu yang menjadi dasar berlangsungnya pertukaran tersebut sebagai sebuah kewajiban. Melainkan Islam memutlakkan bagi manusia untuk melakukan pertukaran dengan apa pun, selama suka sama suka ada di dalam pertukaran itu. Maka boleh saja menikahi seorang wanita dengan (mahar) mengajarinya al-Quran. Boleh juga membeli suatu barang dengan harga berupa kerja kepada pemilik barang itu selama sehari. Dan boleh juga bekerja kepada seseorang selama satu hari dengan upah sejumlah tertentu kurma …”.
Dalam hal ini ada dua pertanyaan:
Pertama, apa yang dinyatakan di dalam asy-Syakhshiyah juz 2 tidak memperbolehkan jual beli hewan dengan (harga berupa) menempati rumah, dengan anggapan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta. Dan kondisi ini merupakan pertukaran harta dengan manfaat rumah. Melainkan yang diperbolehkan adalah penyewaan manfaat, seperti penyewaan kebun dengan kompensasi menempati rumah. Sementara di an-Nizhâm al-Iqtishâdî jual beli itu diperbolehkan. An-Nizhâm al-Iqtishâdî mengatakan: “boleh membeli barang dengan bekerja kepada pemiliknya satu hari”. Yaitu menjual barang dengan manfaat tenaga. Jadi pembeli itu membeli barang dengan manfaat kerjanya kepada pemilik barang. Seperti yang terlihat, antara yang ada di asy-Syakhshiyah dan yang ada di an-Nizhâm al-Iqtishâdî bertentangan, lalu mana yang benar? Apakah menjual harta dengan manfaat itu boleh atau tidak boleh?
Kedua, jika tidak boleh, lalu bagaimana jual beli tanah kharajiyah bisa terjadi, mengingat bahwa jual beli tanah kharajiyah adalah jual beli manfaatnya. Sebab fisik tanah kharajiyah adalah milik kaum muslim, sementara pemilik tanah kharajiyah itu hanya memiliki manfaatnya? Apakah pertukaran manfaat tanah kharajiyah dengan harta bisa disebut jual beli dan terhadapnya berlaku hukum-hukum jual beli?
Jawaban pertanyaan pertama:
1.       Ada yang disebut pertukaran (al-mubâdalah), ada yang disebut jual beli (al-bay’) dan ada pula yang disebut sewa menyewa (al-ijârah).
2.       Pertukaran oleh Islam dimutlakkan boleh terjadi diantara barang, tenaga dan manfaat/jasa selama perkara-perkara itu tidak haram. Maka Anda boleh mempertukarkan satu atau dua mobil dengan sebuah rumah. Anda boleh mempertukarkan mobil dengan menempati rumah beberapa bulan yang tertentu.
Anda juga boleh mempertukarkan kerja Anda satu hari atau satu bulan dengan sejumlah uang tertentu. Boleh juga Anda mempertukarkan kerja Anda dalam hitungan hari, bulan atau tahun dengan rumah atau dengan mobil …
Artinya boleh saja Anda mempertukarkaan tenaga dengan harta atau barang atau manfaat/jasa selama perkara-perkara tersebut -seperti yang telah kami katakan- bukan barang yang haram, bukan manfaat/jasa yang haram dan bukan tenaga dalam aktivitas yang haram, dan selama suka sama suka ada di situ.
3.       Jual beli merupakan satu jenis dari pertukaran tersebut. Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta. Karena itu pertukaran apapun antara harta dengan harta, seperti antara uang dengan uang atau uang dan barang, maka itu merupakan jual beli dan terhadapnya berlaku hukum-hukum jual beli.
4.       Sedangkan ijarah adalah jenis lain dari pertukaran. Ijarah adalah akad atas manfaat dengan mendapat kompensasi. Kompensasi itu kadang berupa harta, dan kadang berupa manfaat. Boleh saja Anda bekerja satu hari atau satu bulan dengan kompensasi sejumlah tertentu uang, atau barang seperti gandum, kurma atau … Demikian pula boleh saja Anda bekerja satu hari atau satu bulan dengan kompensasi menempati rumah satu bulan, misalnya. Begitulah.
Jadi apa yang berupa pertukaran antara manfaat dan barang atau harta maka itu merupakan ijarah dan terhadapnya berlaku hukum-hukum ijarah.
5.       Jika kita mengetahui hal itu, maka mudah bagi kita memahami apa yang dinyatakan di Nizhâm al-Iqtishâdî dan yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz 2 sebagai berikut:
a.       Yang dinyatakan di Nizhâm al-Iqtishâdî adalah bab uang. Maka Nizhâm al-Iqtishâdî menyebutkan pertukaran secara umum dan kebolehannya terjadi antara barang, tenaga dan manfaat/jasa … Kemudian sampai pada bahwa satuan pertukaran moneter di dalam Islam yaitu emas dan perak.
Jadi pembahasan dalam bab uang itu adalah tentang pertukaran, dan itu benar. Yaitu pertukaran itu terjadi di dalam harta, barang, dan tenaga.
b.      Yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz 2 adalah dalam bab ijarah untuk membedakan antara ijarah dan jual beli. Maka asy-Syakhshiyah juz 2 berbicara tentang satu jenis dari pertukaran secara umum, dimana dua pihaknya adalah (harta) dan (harta) dan itu yang disebut jual beli, dan itu memiliki hukum-hukum tentangnya. Dan berbicara tentang satu jenis lain dari pertukaran secara umum, dimana dua pihaknya adalah (manfaat atau tenaga) dan (harta), atau (manfaat dan tenaga) dan (manfaat dan tenaga) dan itu yang disebut ijarah.
Jadi pembahasan tersebut adalah tentang jenis-jenis pertukaran. Sebagiannya disebut jual beli dan sebagian yang lain disebut ijarah. Semua itu dinyatakan di bab al-ijârah.
c.       Dengan demikian, apa yang dinyatakan di Nizhâm al-Iqtishâdî dan apa yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz 2, masing-masing adalah benar dalam babnya.
d.      Akan tetapi, kerancuannya adalah dalam contoh yang dipaparkan di Nizhâm al-Iqtishâdî ketika membahas pertukaran dengan lafazh (membeli -asy-syirâ`). Yaitu ungkapan “… dan boleh membeli barang dengan kerja kepada pemiliknya satu hari …“. Yang dimaksud adalah “mempertukarkan barang dengan kerja satu hari kepada pemilik barang itu” sebab pembahasannya adalah tentang pertukaran. Andai dinyatakan demikian niscaya kerancuan itu hilang. Sebab jenis pertukaran seperti itu dalam pandangan kita ada dalam bab ijarah dan terhadapnya berlaku hukum-hukum ijarah bukan hukum-hukum jual beli. Jadi upah laki-laki yang bekerja satu hari itu adalah barang tersebut. Terhadap kondisi ini tidak berlaku hukum-hukum jual beli.
Sementara itu, jual beli secara bahasa digunakan untuk meyebut pertukaran, sebagaimana yang ada di asy-Syakhshiyah juz 2 halaman 284 pada awal pembahasan jual beli (jual beli secara bahasa artinya adalah pertukaran secara mutlak dan ia adalah lawan dari membeli (asy-syirâ`) …). Akan tetapi secara syar’i jual beli merupakan satu jenis dari pertukaran, yaitu pertukaran harta dengan harta, seperti yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz 2 setelah ungkapan sebelumnya (sedangkan secara syar’i, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dalam bentuk pertukaran kepemilikan yang dilakukan suka sama suka ..).
Karena itu, untuk menghilangkan kerancuan tersebut kami akan mengoreksi kalimat tersebut seperti apa yang telah kami sebutkan di atas. Yaitu sebagai ganti (dan boleh membeli barang dengan kerja satu hari kepada pemiliknya), kami akan gantikan dengan kalimat berikut : (dan boleh mempertukarkan barang dengan kerja satu hari kepada pemiliknya).
Hal itu karena yang benar dalam pandangan kami bahwa jual beli secara syar’i adalah (pertukaran harta dengan harta) seperti yang dinyatakan dalam definisi di asy-Syakhshiyah juz 2 halaman 284 yang telah kami sebutkan diatas.
Perlu diketahui bahwa ada sebagian fukaha yang memasukkan di dalam jual beli itu pertukaran manfaat, tenaga dan barang dengan syarat-syarat tertentu dan tidak terbatas pada pertukaran harta dengan harta saja. Akan tetapi yang rajih dalam pandangan kami adalah apa yang telah kami sebutkan.
Jawaban pertanyaan kedua:
Definisi ijarah adalah akad atas manfaat dengan mendapat kompensasi. Dan manfaat di sini yang dimaksudkan adalah manfaat yang bersifat temporer. Artinya pemenuhan manfaat itu terjadi dengan syarat-syarat dan tata cara tertentu yang menjadikan manfaat itu bersifat temporer dengan batasan waktu tertentu. Misalnya, sewa menyewa rumah untuk tempat tinggal selama satu tahun, artinya pihak yang menyewakan memenuhi manfaat yang bersifat temporer yaitu selama jangka waktu tertentu.
Sedangkan manfaat tanah kharajiyah, meskipun fisik tanah itu menjadi milik kaum muslim, akan tetapi manfaat tersebut menjadi milik pemilik tanah itu secara terus menerus. Karena itu, dibenarkan terjadi jual beli di dalamnya dan juga sesuai dengan hukum-hukum jual beli. Dalil hal itu adalah ijmak sahabat ridhwanalLâh ‘alayhim atas hukum yang diambil dari perbuatan Umar dalam hal tanah kharajiyah.
Di dalam asy-Syakhshiyah juz 2 halaman 244 baris ke-9 dinyatakan sebagai berikut: (… hanya saja bahwa yang diwariskan dalam hal tanah kharajiyah tidak lain adalah manfaatnya yang bersifat terus menerus -manfa’atuhâ ad-dâ`imah- sementara fisiknya tidak diwariskan karena fisiknya adalah milik seluruh kaum muslim. Adapun manfaatnya maka Umar bin al-Khaththab ra menyetujui para sahabatnya untuk memiliki manfaatnya yang bersifat terus menerus sampai akhir zaman … Dan manfaat tersebut dimiliki dan diwariskan. Pemilik manfaat itu berhak melakukan semua bentuk tasharruf terhadapnya berupa jual beli, rahn, hibah, washiyat dan tasharuf-tasharruf lainnya). Dan di buku yang sama halaman 245 baris ke-15 dan seterusnya dinyatakan sebagai berikut: (siapa saja yang memiliki manfaat tanah, ia berhak untuk menjual manfaat tersebut dan mengambil harganya karena manfaat tersebut telah dijual dan ia berhak atas harganya). Semua itu tentang manfaat yang bersifat terus menerus karena membahas tentang manfaat tanah kharajiyah.
Ringkasnya:
  • Pertukaran boleh dilakukan dalam harta, barang, tenaga dan manfaat selama semua itu mubah dan suka sama suka ada di situ.
  • Pertukaran lebih luas dari jual beli dan dari ijarah. Jika pertukaran itu antara harta dengan harta maka itu adalah jual beli. Dan jika pertukaran itu antara harta dan manfaat dan tenaga maka itu adalah ijarah.
  • Pertukaran manfaat yang bersifat terus menerus, terhadapnya bisa diberlakukan hukum-hukum jual beli, seperti dalam hal tanah kharajiyah.

Sejahtera Tanpa Pajak

Kasus mafia pajak yang terjadi di Direktorat Pajak bukan saja membuktikan praktik korupsi yang luar biasa di negeri ini, tetapi juga membuktikan, bahwa pendapatan negara melalui sektor pajak ternyata tidak membawa kesejahteraan rakyat. Alih-alih menyejahterakan, uang pajak yang begitu melimpah dan dibayar oleh rakyat dengan terpaksa dan susah-payah itu nyatanya digarong oleh pengelolanya. Wajar, jika ada gerakan memboikot pajak alias menolak bayar pajak melalui jejaring dunia maya, facebook (Antaranews.com, 29/3/2010).
Kita bisa membayangkan, betapa besarnya pendapatan negara melalui sektor pajak, hingga mencapi 75-80 persen dari total penerimaan APBN. Tahun 2009, Ditjen Pajak telah berhasil membukukan penerimaan pajak sebesar Rp 565,77 triliun atau 97,99 persen dari target (Okezone, 27/1/2010). Untuk tahun 2010 ini, menurut Menkeu Sri Mulyani, target penerimaan negara (lewat pajak) sekitar Rp 742 triliun (JPNN.com, 24/3/2010).
Bandingkan dengan penerimaan negara dari sektor non-pajak. Dalam RAPBN 2009, Pemerintah memperkirakan penerimaan negara sektor non-pajak (PNBP) mampu menyumbang sebesar Rp 295,3 triliun. Target penerimaan sebesar itu diperoleh dari sektor migas (minyak bumi dan gas), sektor pertambangan umum, kehutanan, laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pendapatan dari BLU dan PNBP lainnya. Kenyataan ini membuktikan, bahwa sumber-sumber ekonomi negara yang lain, hanya menyumbang 20-25 persen penerimaan APBN, padahal negeri ini terkenal sangat kaya akan kekayaan alam. Lalu ke manakah larinya semuanya itu?
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kekayaan negara dan rakyat di negeri ini hilang karena praktik korupsi dan manipulasi para pejabat. Namun harus dicatat, bahwa ini hanyalah faktor kecil. Faktor paling besar yang menyebabkan hilangnya kekayaan negara dan rakyat adalah penerapan sistem Kapitalisme, dengan kebijakan liberalisasi ekonomi, termasuk dalam pengelolaan SDA.
Akibatnya, SDA negeri ini banyak dikuasai swasta/asing, tentu saja hasilnya sebagian besar dinikmati oleh mereka. Sebaliknya, negara dan rakyatnya hanya memperoleh sedikit royalti plus deviden dan pajaknya yang tentu jumlahnya jauh lebih kecil. Di sektor pertambangan, emas, misalnya, tahun 2009, negara memperoleh penerimaan pajak dari PT Freeport yang menguasai tambang emas di Papua hanya Rp 13 triliun, plus royalti hanya USD 128 juta dan dividen sebesar USD 213 juta. Padahal PT Freeport Indonesia (PTFI) sendiri meraup laba bersih sebesar USD 2,33 miliar atau setara dengan Rp 22,1 triliun (Inilah.com, 2/12/2009). Itu pun yang dilaporkan secara resmi. Jika rata-rata produksi pertahun 126,6 ton, kalau dikalikan dengan harga emas Rp.245.460/gram maka akan diperoleh pendapatan sebesar Rp31,07 triliun.
Di sektor migas, penerimaan negara juga kecil. Tahun 2010 ini penerimaan migas hanya ditargetkan sekitar Rp 120,5 triliun. Itu tentu lebih kecil dibandingkan dengan porsi yang diperoleh pihak asing. Pasalnya, menurut Hendri Saparani, PhD, 90% kekayaan migas negeri ini memang sudah berada dalam cengkeraman pihak asing.
Tentu, itu belum termasuk hasil dari kekayaan barang tambang yang lain (batubara, perak, tembaga, nikel, besi, dll) yang juga melimpah-ruah. Sayang, dalam tahun 2010 ini, misalnya, Pemerintah hanya menargetkan penerimaan sebesar Rp 8,2 triliun dari pertambangan umum. Lagi-lagi, porsi terbesar pastinya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing yang juga banyak menguasai pertambangan di negeri ini.
Belum lagi jika negara memperhitungkan hasil laut. Menurut S. Damanhuri diperkirakan potensi pendapat dari sektor kelautan sebesar USD 82 miliar. Jika USD 1 sama dengan Rp 10.000, maka dari sektor kelautan saja bisa dihasilkan Rp 820 triliun. Potensi hutan kita juga cukup tinggi. Hasil hutan dalam bentuk kayu pada tahun 2005 saja sebesar Rp 250 triliun.
Selain itu, Pemerintah saat ini memiliki sekitar 160 BUMN. Jumlah BUMN yang meraih laba pada tahun 2003 mencapai 103 perusahaan dengan total laba bersih Rp 25.6 triliun. Namun, 69 persen dari total laba bersih tersebut hanya disumbangkan oleh 10 BUMN saja, sedangkan sebagian besar BUMN sudah go public sehingga sebagian besar laba tersebut tidak masuk ke Pemerintah, tetapi ke pemegang saham swasta. Di sisi lain, ada 47 BUMN yang merugi pada tahun 2003 dengan total kerugian Rp 6.08 triliun. Sebanyak 84.4 persen dari total kerugian BUMN (Rp 5.13 triliun) hanya diakibatkan oleh 10 BUMN.
Jadi kalau dihitung total pendapatan negara di luar pajak adalah: (1) Migas Rp 120,5 triliun; (2) Emas Rp 31,07 triliun; (3) Hasil laut Rp 820 triliun; (4) Hutan Rp 250 triliun; (5) Laba bersih BUMN Rp 25,6 triliun. Dengan demikian, total pendapatan negara dari sektor non-pajak sebesar Rp 1.247.17 triliun. Jika dikurangi pengeluaran APBN-P 2010, sebesar Rp 1.104 triliun, maka negara masih surplus Rp 143.17 triliun, dan tidak perlu memalak rakyat dengan pajak.
Karena itu, negeri ini sesungguhnya tidak memerlukan pajak untuk membiayai dirinya. Sebab, dari hasil-hasil SDA saja, jika sepenuhnya dimiliki/dikuasai negara, maka kas negara akan lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyatnya. Padahal, penerimaan APBN di dalam Islam bukan hanya dari sektor SDA, di sana juga ada sektor lain seperti harta fa’i, ghanîmah, kharaj dan jizyah, harta milik negara, ‘usyr, khumus rikâz, barang tambang, zakat, harta sitaan, dan harta tak bertuan (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, 232). Selain itu, negara juga mempunyai sumber ekonomi yang lain seperti pertanian, perdagangan, industri dan jasa (‘Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla).
Sayang, semuanya itu hanya isapan jempol kalau sistem ekonomi Islam dengan syariahnya tidak pernah diterapkan. Sebab, bukan saja sistemnya terbukti korup, para penyelenggara negaranya juga korup. Selain memperkaya diri sendiri, mereka juga tidak pernah memikirkan nasib rakyatnya. Lihatlah saja, pengeluaran APBN-P 2010 untuk sektor pelayanan publik. Belanja subsidi direncanakan hanya sebesar Rp 144,3 triliun (21% dari belanja Pemerintah Pusat), turun sebesar Rp 15,5 triliun (10%) dibandingkan dengan 2009. Subsidi non-energi dialokasikan hanya sebesar Rp 44,9 triliun (31% dari belanja subsidi), turun sebesar Rp 12,5 triliun (22%). Penurunan belanja subsidi non-energi terbesar pada obat generik (100%) dan pupuk sebesar Rp 7,1 triliun (39%). Program ketahanan pangan hanya dianggarkan Rp 14,252 triliun. Alokasi untuk perlindungan sosial hanya sebesar Rp 3,4 triliun. Sebaliknya, pembayaran pinjaman utang luar negeri yang dimasukan ke dalam skema pembiayaan RAPBN-P 2010 sebesar Rp 16,924 triliun (News.id.finroll.com, 1/4/2010). Anggaran pelayanan di Puskesmas dan jaringannya turun dari Rp 2,64 triliun menjadi hanya Rp 1 triliun (turun 62,12%). Pendidikan dasar turun dari 37,1405 triliun rupiah pada tahun 2009 menjadi Rp 31,704 triliun dalam RAPBN 2010. Subsidi pangan turun dari Rp 12.987,0 M menjadi hanya Rp 11.844,3 M. Subsidi pupuk juga turun dari Rp 18.437,0 M menjadi hanya Rp 11.291,5 M. Belanja bantuan sosial (Jamkesmas, BOS, raskin, dll) juga mengalami penurunan sebesar 11% atau hanya Rp 8,6 triliun. Di sisi lain, 25 persen belanja Pemerintah Pusat digunakan untuk pembayaran pokok utang dan bunganya mencapai Rp 174 triliun.
Pendek kata, hanya sistem Islam di bawah naungan Khilafahlah satu-satunya yang bisa menyejahterakan rakyat. Bukan hanya itu, Khilafahlah satu-satunya negara yang tidak mempunyai tabiat sebagai pemalak, layaknya negara sosialis/komunis maupun kapitalis. [Hafidz Abdurrahman]

Sumber : hizbut-tahrir.or.id

Rabu, 19 Januari 2011

Akhirat: Kehidupan Sebenarnya

(Tafsir QS al-Qari’ah [101]: 1-11)
الْقَارِعَةُ، مَا الْقَارِعَةُ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ، يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ، وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ، فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ، فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ، وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ، فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ، نَارٌ حَامِيَةٌ.
Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas (QS al-Qari’ah [101]: 1-11).
Dalam mushaf, surat ini terletak sesudah surat al-‘Adiyat. Tidak ada perbedaan bahwa surat ini termasuk Makiyyah.1 Dilihat dari isinya, tampak ada hubungan erat dengan surat sebelumnya. Dalam surat sebelumnya diberitakan, manusia akan mengetahui tatkala dibangkitkan dari kuburnya. Apa yang ada di dalam hatinya juga akan dikeluarkan. Berita tersebut seolah menyisakan pertanyaan: Kapan peristiwa itu terjadi? Surat ini memberikan jawabannya, bahwa peristiwa itu akan terjadi pada hari kiamat.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Al-Qâri’ah. Menurut kebanyakan mufassir, makna al-Qâri’ah adalah al-Qiyâmah (Hari Kiamat). Bahkan Fakhruddin ar-Razi menegaskan, pengertian ini telah menjadi kesepakatan.2 Dengan demikian, al-Qâri’ah merupakan salah satu nama Hari Kiamat, sebagaimana al-Hâqqah, ath-Thâmmah, ash-Shâkhkhah, al-Ghâsyiyah, dan lain-lain.3
Menurut Ibnu ‘Abbas, disebut al-Qâri’ah karena Hari Kiamat menggetarkan hati dengan ketakutan dan menggentarkan musuh-musuh Allah dengan azab. Orang Arab mengatakan, “Qara’at-hum al-qâri’ah,” ketika terjadi peristiwa yang mengerikan (amr fazhî’).4 Menurut al-Khazin, pada asalnya kata al-qar’u berarti ash-shawt asy-syadîd (suara yang amat keras).5
Kemudian Allah SWT berfirman: Mâ al-Qâri’ah? Ini merupakan kalimat istifhâm yang berarti: Ayyu syay’[in] hiya al-qâri’ah (Apakah al-Qari’ah itu).6 Bentuk istifhâm di sini berguna li at-ta’zhîm wa at-tafkhîm li sya’nihâ (untuk mengagungkan dan membesarkan urusannya).7
Ditegaskan lagi dalam ayat berikutnya: Wa mâ adrâka mâ al-qâri’ah? Menurut asy-Syaukani dan al-Qinuji, ayat ini merupakan ta’kîd li syiddatihâ wa mazîd fazhâ’atihâ (menegaskan kedahsyatan dan menambah kengeriannya) sehingga seolah-olah keluar dari wilayah pengetahuan makhluk disebabkan karena tidak bisa dijangkau oleh ilmu seorang pun dari mereka.8 Redaksi ayat-ayat ini sama dengan QS al-Haqqah [69]: 1-3.
Selanjutnya peristiwa yang terjadi pada hari itu diberitakan: Yawma yakûnu an-nâs ka al-farâsy al-mabtsûts (Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran). Pada saat itu keadaan manusia digambarkan seperti al-farâsy al-mabtsûts. Menurut asy-Syaukni, al-farâsy itu adalah binatang terbang yang berjatuhan pada cahaya dan lampu. Bentuk tunggalnya al-farasyah. Menurut al-Farra’, al-farâsy adalah binatang yang terbang, seperti nyamuk dan lainnya. Belalang juga termasuk di dalamnya; sedangkan al-mabtsûts berarti al-mutafarriq wa al-muntasyir (berpencaran dan bertebaran).9
Menurut Qatadah, mereka diserupakan dengan anai-anai yang terpencar-pencar dan beterbangan dalam hal banyaknya, bertebarannya, kelemahannya, kehinaannya, kedatangan maupun kepergiannya yang tanpa aturan tertentu, dan terbang menuju Pemanggil dari semua arah ketika Allah memanggil mereka ke Padang Mahsyar.10
Al-Khazin juga menuturkan, diserupakan manusia dengan farasy karena binatang tersebut beterbangan tidak menuju pada satu arah yang sama. Ini menunjukkan, ketika dibangkitkan para makhluk tersebut berpencaran; masing-masing menuju kepada arah yang berbeda.11 Dalam ayat lain ia diserupakan dengan belalang yang bertebaran (Lihat: QS al-Qamar [54]: 7).
Peristiwa lainnya disebutkan dalam ayat berikutnya: Wa takûnu al-jibâl ka al-‘ihn al-manfûsy (dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan). Gunung-gunung yang besar dan kokoh itu juga porak-poranda pada Hari Kiamat. Saat itu, gunung digambarkan seperti al-‘ihn al-manfûsy. Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, al-Hasan, Qatadah, Atha’, al-Khurasani, adh-Dhahhak dan as-Sudi memaknai al-‘ihn adalah ash-shawf (bulu).12 Sebagaimana dikutip al-Qurthubi, menurut ahli bahasa kata al-‘ihn berarti ash-shawf al-masbûgh (bulu yang diwarnai). Tidak disebut al-ihn kecuali telah diwarnai dengan aneka warna.13
Patut dicatat, gunung yang diciptakan Allah SWT itu memang berwarna-warni (Lihat: QS Fathir [35]: 27)
Menurut az-Zamakhsyari, dikatakan al-manfûsy disebabkan karena bagian-bagiannya yang terpisah-pisah.14 Gambaran itu menunjukkah dahsyatnya guncangan yang terjadi pada Hari Kiamat. Demikian dahsyatnya hingga gunung-gunung yang terlihat besar, tinggi dan kokoh itu pun porak-poranda laksana bulu-bulu berhamburan (Lihat juga: QS al-Ma’arij [70]: 9; QS al-Muzzammil [73]: 14).
Penggabungan berita tentang keadaan manusia dan gunung seolah-olah Allah SWT memberitakan dahsyatnya pengaruh Hari Kiamat itu. Jika gunung-gunung yang besar, kuat dan kokoh itu bagaikan bulu-bulu berhamburan, lalu bagaimana keadaan manusia yang lemah ketika mendengar suara al-qâri’ah itu.15
Kemudian diberitakan kejadian lainnya yang menyangkut nasib manusia. Allah SWT berfirman: Fa ammâ man tsaqulat mawâzînuhu (adapun orang-orang yang berat timbangan [kebaikan]nya). Kata al-mawâzîn merupakan jamak dari kata al-mawzûn (yang ditimbang), yakni amal yang memiliki timbangan dan takaran di sisi Allah. Bisa juga kata ini adalah jamak dari al-mîzân (timbangan).16 Pada hari itu, amal perbuatan yang dilakukan manusia semasa di dunia ditimbang. Dalam ayat ini diterangkan mengenai orang yang kebaikannya melebihi keburukannya. Sebab, pengertian tsaqulat mawâzînuhu adalah rajahat mawâzînu hasânatihi (timbangan kebaikannya lebih berat).17
Terhadap mereka, Allah SWT berfirman: Fahuwa fî ‘îsyah râdhiyyah (maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan). Dijelaskan al-Qurthubi dan ar-Razi, frasa ‘îsyah râdhiyyah berarti ‘îsy mardhiy (kehidupan yang disenangi), yakni disenangi oleh pelakunya. Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan ‘îsyah râdhiyyah tak lain adalah surga. Sebagaimana dinyatakan as-Samarqandi, dalam kehidupan tersebut tidak ada kematian, kefakiran, kesakitan dan ketakutan. Dengan kata lain, kehidupannya aman dari segala ketakutan dan kefakiran.18
Keadaan sebaliknya diterangkan dalam ayat-ayat berikutnya: Wa ammâ man khaffat mawâzînuhi (adapun orang-orang yang ringan timbangan [kebaikan]nya). Artinya, keburukannya mengalahkan kebaikannya; atau tidak ada kebaikan baginya yang bisa dihitung.19 Termasuk dalam cakupan ayat ini adalah orang-orang kafir yang amalnya terhapus dan tidak dilakukan penimbangan (Lihat: QS al-Kahfi [18]: 105).
Balasan terhadap mereka adalah: Fa ummuhu hâwiyah (maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah). Pengertian ummuhu di sini adalah ma’wâhu (tempat tinggal, tempat perlindungannya). Menurut an-Nasafi, ungkapan tersebut merupakan tasybîh (perumpamaan). Sebab, al-umm adalah ma’wâ al-walad wa mafza’ahu (tempat berlindung dan minta perolongan).20 Adapun hâwiyah adalah salah satu nama neraka.21Pengertian tersebut dapat disimpulkan dari ayat-ayat berikutnya sehingga fa ummuhu hâwiyah berarti maskanahu wa ma’wâhu an-nâr (tempat tinggalnya adalah neraka).22 Qatadah juga mengartikan fa ummuhu hâwiyah sebagai fa mashîruhu an-nâr (tempat kembalinya neraka). Disebut ummuhu karena menjadi tempat kembali dan tempat tinggalnya.23
Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Wa mâ adrâka mâ hiyah (Tahukah kamu apakah Neraka Hawiyah itu?). Pada asalnya mâ hiya; kemudian dimasuki huruf al-hâ’. Sebagaimana ayat ketiga, kalimat istifhâm ini juga menunjukkan ta’zhîm[an] li syiddatihâ (mengagungkan kedahsyatannya).24
Kemudian dijelaskan dalam akhir surat ini: nâr[un] hâmiyah ([yaitu] api yang sangat panas). Dijelaskan al-Qurthubi, frasa tersebut bermakna syadîd al-harârah (panas yang luar biasa). Menurut an-Nasafi, ungkapan ini menunjukkan pengertian panasnya hingga puncak. As-Samarqandi juga menuturkan, frasa tersebut bermakna panas, yang panasnya mencapai puncaknya.25
Kiamat: Potret Manusia Sebenarnya
Surat ini mengandung banyak pelajaran penting bagi manusia. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, kepastian dan hakikat Hari Kiamat. Secara tegas surat ini memastikan kedatangan Hari Kiamat. Hari itu adalah hari berakhirnya kehidupan dunia. Hal ini ditandai dengan kehancuran alam semesta yang menjadi tempat kehidupan manusia di dunia. Gunung-gunung yang terlihat kokoh porak-poranda seperti bulu yang diterbangkan. Manusia pun berlarian dan berpencaran tak tentu arah.
Gambaran kehancuran alam semesta ini banyak diberitakan dalam al-Quran. Pada hari itu bumi diguncangkan dengan goncangan yang keras. Saat itu, bumi mengeluarkan beban berat yang dikandungnya (Lihat: QS al-Zalzalah [99]: 1-2). Langit terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan dan lautan meluap (QS al-Infithar [82]: 1-3). Langit digulung dan lautan dipanaskan (QS at-Takwir [81]: 1 6). Masih banyak lagi kejadian lain yang diberitakan dalam al-Quran yang menggambarkan berakhirnya kehidupan dunia. Kejadian tersebut demikian dahsyat sehingga manusia berlarian pontang-panting tak tentu arah. Tidak lagi mempedulikan saudara, ayah dan ibunya, istri dan anaknya. Semuanya disibukkan dengan urusannya masing-masing (QS Abasa [80]: 34-37).
Kedua, nasib manusia setelah Kiamat. Kehancuran kehidupan dunia bukan berarti berakhir pula perjalanan hidup manusia. Setelah kehidupan dunia berakhir, manusia akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya di dunia. Dalam surat ini diberitakan, amal manusia di dunia akan ditimbang. Standar baik atau buruk amal manusia tentu didasarkan pada syariah yang telah diturunkan-Nya.
Orang-orang yang timbangan kebaikannya lebih berat ditempatkan ke dalam kehidupan yang menyenangkan: surga. Termasuk dalam cakupan ini adalah orang-orang yang masuk surga tanpa hisab, sebuah kehidupan yang amat disenangi manusia. Di dalamnya mereka mendapatkan segala yang diminta (Lihat: QS Yasin [36]: 57). Gambaran tentang kenikmatan surga tersebut diberitakan dalam banyak ayat.
Sebaliknya, orang-orang yang timbangan keburukannya lebih berat atau bahkan sama sekali tidak ada yang layak ditimbang, tempat tinggal mereka adalah neraka. Dalam surat ini disebutkan salah satunya adalah Neraka Hawiyah; neraka yang apinya sangat panas. Mengenai panasnya api neraka, bisa disimak dalam Hadits an-Nu’man bin Basyir ra. yang pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَرَجُلٌ تُوضَعُ فِى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَةٌ يَغْلِى مِنْهَا دِمَاغُهُ
Sesungguhnya azab yang paling ringan dari penghuni neraka pada Hari Kiamat ialah seorang yang diletakkan pada kedua telapak kakinya sepotong bara api yang menyebabkan otaknya mendidih (Muttafaq ‘alaih).
Patut ditegaskan, dahsyatnya azab itu merupakan balasan yang seimbang dengan perbuatan yang dilakukan manusia (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 26). Tidak ada seorang pun yang dizalimi dan tidak dibalas kecuali apa yang telah dikerjakan (Lihat: QS Yasin [36]: 54). Demikian pula dengan pahala dan surga yang diberikan kepada orang yang bertakwa. Kenikmatan itu merupakan balasan atas kebaikan yang dilakukan; sekaligus sebagai pemberian dari Allah SWT (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 36).
Inilah nasib manusia yang sesungguhnya. Maka dari itu, agar kita terhindar dari neraka sekaligus bisa mendapatkan surga, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengokohkan keimanan dan bersegera menggiatkan amal shalih. Sekaranglah waktunya. Bukan besok atau lusa. Semoga kita termasuk orang yang timbangan kebaikannya mengalahkan keburukan.
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []

Selasa, 18 Januari 2011

Parfum Beralkohol, Najiskah?

Tanya :
apa hukumnya menggunakan parfum yang beralkohol?
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan parfum beralkohol. Sebagian ulama tidak membolehkan karena menganggap alkohol najis. Sedang sebagian lainnya membolehkan, karena tak menganggapnya najis. Perbedaan pendapat tentang kenajisan alkohol berpangkal pada perbedaan pendapat tentang khamr, apakah ia najis atau tidak.
Khamr itu sendiri menurut istilah syar’i adalah setiap minuman yang memabukkan. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hal. 25). Di masa kini lalu diketahui, unsur yang memabukkan itu adalah alkohol (etanol, C2H5OH). Maka dalam istilah teknis kimia, khamr didefinisikan sebagai setiap minuman yang mengandung alkohol (etanol) baik kadarnya sedikit maupun banyak. (Abu Malik Al-Dhumairi, Fathul Ghafur fi Isti’mal Al-Kuhul Ma’a al-‘Uthur, hal. 13).
Menurut jumhur fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Taimiyah, khamr itu najis. Namun menurut sebagian ulama, seperti Rabi’ah Al-Ra`yi, Imam Laits bin Sa’ad, dan Imam Muzani, khamr itu tak najis. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1/260 & 7/427; Imam Al-Qurthubi, Ahkamul Qur`an, 3/52; Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, 1/18).
Ulama yang menganggap khamr najis berdalil dengan ayat (artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji (rijsun) termasuk perbuatan syaitan.” (QS Al-Ma`idah : 90). Ayat ini menunjukan kenajisan khamr, karena Allah SWT menyebut khamr sebagai rijsun, yang berarti najis. (Wahbah Zuhaili, ibid., 7/427)
Namun ulama yang menganggap khamr tak najis membantah pendapat tersebut. Mereka berkata rijsun dalam ayat tersebut artinya adalah najis secara maknawi, bukan najis secara hakiki. Artinya khamr tetap dianggap zat suci, bukan najis, meskipun memang haram untuk diminum. (Tafsir Al-Manar, 58/7; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 1/36; Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, 1/19).
Adapun menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa khamr itu najis. Dalilnya memang bukan QS Al-Ma`idah : 90, dalam panci-panci mereka dan meminum khamr dalam bejana-bejana mereka.” Nabi SAW menjawab, “Jika kamu dapati wadah lainnya, makan makan dan minumlah dengannya. Jika tidak kamu dapati wadah lainnya, cucilah wadah-wadah mereka dengan air dan gunakan untuk makan dan minum.” (HR Ahmad & Abu Dawud, dengan isnad shahih). (Subulus Salam, 1/33; Nailul Authar, hal. 62).
Hadits di atas menunjukkan kenajisan khamr, sebab tidaklah Nabi SAW memerintahkan untuk mencuci wadah mereka dengan air, kecuali karena khamr itu najis. Ini diperkuat dengan riwayat Ad-Daruquthni, bahwa Nabi SAW bersabda,”maka cucilah wadah-wadah mereka dengan air karena air itu akan menyucikannya.” (farhadhuuhaa bil-maa`i fa-inna al-maa`a thahuuruhaa) (Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Shalah, 1/45).
Kesimpulannya, alkohol (etanol) itu najis karena mengikuti kenajisan khamr. Maka, parfum beralkohol tidak boleh digunakan karena najis. Wallahu a’lam. (ustadz siddiq al jawie; mediaumat.com)

Pemerintah Mengabaikan Rakyat, Memanjakan Pejabat

[Al Islam 540] Pemerintah selama ini sering mengklaim bahwa APBN disusun untuk menciptakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan mendukung kelestarian lingkungan.
Namun nyatanya, besaran APBN justru lebih untuk kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah. Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ Pemerintah pada 2011 membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam realisasi APBN 2011.
Menurut FITRA, Pemerintah terkesan hendak menyembunyikan hal itu. ”Belanja perjalanan yang biasanya diuraikan pada nomenklatur belanja barang, pada dokumen Data Pokok APBN 2011 tidak lagi dicantumkan. Rupanya, untuk menghindari kritik masyarakat atas membengkaknya belanja perjalanan, Pemerintah justru menutupi belanja perjalanan ini,” tegas Sekjen FITRA, Yuna Farhan.
Menurut Yuna, belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam APBN 2009, misalnya, alokasi belanja perjalanan ‘hanya’ Rp 2,9 triliun. Namun, dalam APBN-P 2009 melonjak menjadi Rp 12,7 triliun, bahkan dalam realisasinya membengkak menjadi Rp 15,2 triliun. Lalu dalam APBN 2010, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, kemudian membengkak menjadi Rp 19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011).
Membengkaknya anggaran belanja perjalanan di APBN 2011 ini bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011. Selama ini para anggota DPR memperlihatkan salah satu hobi mereka: pelesiran, meski dengan judul “studi banding”, dengan dana miliaran rupiah.
Sebagaimana diketahui, belanja perjalanan selama ini menjadi lahan subur penghasilan baru pejabat. Berdasarkan hasil audit BPK pada Semester I 2010, belanja perjalanan adalah belanja yang paling banyak mengalami penyimpangan. Setidaknya ditemukan penyimpangan anggaran perjalanan dinas di 35 kementerian/lembaga senilai Rp 73,5 miliar. Angka penyimpangan sebenarnya diyakini jauh lebih besar dari angka itu mengingat audit yang dilakukan oleh BPK beluk secara menyeluruh dan detil. Selain biaya perjalanan, pada tahun ini juga ada rencana pembelian mobil dinas dengan total mencapai Rp 32,572 miliar, selain biaya perawatan gedung yang mencapai Rp 6,1 triliun.
Di sisi lain, DPR telah memutuskan tetap membangun gedung baru. Gedung baru itu akan dibangun 36 lantai dengan luas sekitar 161.000 meter persegi dengan biaya Rp 1,3 triliun.
Mengabaikan Rakyat
Berbagai kenyataan di atas menunjukkan bahwa keuangan negara yang seharusnya dibelanjakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, justru banyak digunakan untuk fasilitas dan kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah. Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN P 2010 menjadi 13,6 triliun Rupiah di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp 50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan.
Sebagaimana diketahui, pada akhir tahun 2010 tercatat masih ada sebanyak 31,02 juta jiwa penduduk miskin di negeri ini. Bisa jadi kondisi mereka sangat mengenaskan seperti yang terjadi pada enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, yang meninggal dunia akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon yang terpaksa mereka konsumsi karena kemiskinan dan minimnya pendapatan mereka.
Di sisi lain, dengan alasan untuk menghemat anggaran, Pemerintah memutuskan melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, seperti yang diprediksi oleh BPS, pembatasan BBM bersubsidi itu pasti menyebabkan kenaikan harga barang atau inflasi. Ujung-ujungnya rakyat secara umum jugalah yang harus menanggung akibatnya.
Menutup Defisit dengan Utang
Besarnya biaya perjalanan dan fasilitas birokrasi, pejabat dan politisi itu semestinya bisa dipangkas sehingga setidaknya akan mengurangi defisit APBN. Selama ini defisit APBN itu selalu ditutupi oleh Pemerintah dengan mencari utang. Tahun ini pun Pemerintah berencana menerbitkan surat utang hingga 200 triliun. Padahal menurut data Utang Luar Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI), tercatat hingga September 2010, utang Indonesia sudah mencapai US$ 194,349 miliar (setara Rp 1.755 triliun dengan kurs Rp 9000 perdolar AS). (Detikfinance.com, 9/1/2011).
Tentu utang itu harus dibayar dengan uang APBN yang notabene adalah uang rakyat karena hampir 80% APBN berasal dari pajak yang dipungut langsung dari rakyat dan pendapatan dari kekayaan alam yang juga adalah milik rakyat. Di dalam APBN 2011, pembayaran utang negara (cicilan pokok+bunga utang) meningkat menjadi Rp 247 triliun. Jumlah ini naik Rp 10 triliun dibandingkan tahun 2010. Pembayaran utang tersebut menghabiskan pendapatan negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat, misalnya saja untuk anggaran subsidi pendidikan dan bahan bakar minyak (BBM).
Pragmatisme Ekonomi
Besarnya biaya perjalanan dan fasilitas untuk birokrasi, pejabat dan politisi ini adalah cermin dari pandangan ekonomi Pemerintah seperti yang diungkapkan oleh Presiden SBY: pragmatisme. Menurut Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy, pragmatisme adalah ‘ideologi’ yang membuat penganutnya tak mau bersusah payah. Ujung dari pragmatisme adalah keuntungan individu sebagai segala-galanya. “Jadi pusat kegiatan ekonominya adalah keuntungan pribadi, bukan kesejahteraan bersama!” (Mediaumat.com, 4/1/2011).
Lebih dari itu, itulah buah dari ideologi Kapitalisme-sekular yang dianut dan diterapkan di negeri ini. Ideologi itu membuat penyelenggara negara tak lagi memiliki rasa malu melakukan semua hal diatas. Sebab, semuanya itu dalam pandangan mereka adalah legal dan bisa diatur.
Segera Terapkan Sistem Islam
Akan sangat berbeda jika yang dianut dan diterapkan di negeri ini adalah ideologi Islam. Sebab, ideologi Islam menyatakan bahwa pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT. Nabi saw bersabda:
اَلْإِمَامُ رَاعٍ فَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang imam (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Keuangan negara yang sejatinya uang rakyat itu adalah amanah yang dipercayakan kepada Pemerintah untuk dikelola demi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Karena itu, saat uang rakyat itu justru digunakan untuk kepentingan dan fasilitas birokrat, pejabat dan politisi, maka kebijakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap amanah itu. Padahal Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad); jangan pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadalian, padahal kalian mengetahuinya (QS al-Anfal [8]: 27).
Tentu hanya orang yang berimanlah yang takut untuk mengkhianati amanah itu. Hanya birokrat, pejabat dan politisi yang berimanlah yang akan dengan amanah mengelola keuangan negara yang merupakan uang rakyat itu, demi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Sebab, mereka yakin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas pengaturan urusan rakyat yang diamanahkan kepada mereka. Semua itu tidak akan terwujud kecuali di dalam negara yang menerapkan syariah Islam.
Syariah Islam memiliki serangkaian hukum dan aturan yang menjadi panduan bagi pemerintah dan rakyat tentang bagaimana keuangan negara itu dikelola. Jika pemerintah lalai dalam hal itu, rakyat secara individual maupun berkelompok, termasuk partai politik, memiliki kesempatan yang luas untuk mengoreksi pemerintah. Bahkan mereka bisa mengajukan penguasa itu ke hadapan Mahkamah Mazhalim. Jika terbukti mereka berkhianat, bisa saja mereka diberhentikan.
Jelas, semua kenyataan buruk di atas hanya akan bisa diakhiri jika syariah Islam diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan akidah Islam sebagai dasarnya dan syariah sebagai hukum untuk mengatur urusan masyarakatnya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.


KOMENTAR AL-ISLAM:
Sebanyak 17 dari 33 gubernur di Indonesia tersangkut perkara hingga harus dinonaktifkan. Hampir setiap minggu ada kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1/2011).
(1) Inilah fakta di negeri yang menjadi ‘jawara demokrasi’. Demokrasi/Pemilu yang berbiaya puluhan triliun rupiah ternyata hanya menghasilkan para pejabat ‘kriminal’, selain tidak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. (2) Saatnya negeri ini hanya menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yang akan melahirkan para pejabat amanah sekaligus menjamin kesejahteraan bagi rakyat.

Senin, 17 Januari 2011

Menggadaikan Barang, Apa Hukumnya?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setiap musim masuk sekolah dan hari raya, sebagian masyarakat Indonesia biasa mendatangi pegadaian. Mereka menggadaikan barang berharga yang dimilikinya agar bisa membiayai sekolah putra-putrinya serta bisa merayakan hari raya. Terlebih, biaya pendidikan di Tanah Air setiap tahun terus naik dan kian tak terjangkau.

Menggadaikan barang merupakan solusi yang cepat. Tak heran, jika minat masyarakat untuk menggadaikan barang berharga miliknya sangat tinggi. Dengan menggadaikan barang, mereka bisa menebusnya kembali sehingga barang berharga kesayangan tak akan hilang.

Ajaran Islam membolehkan transaksi gadai barang. Hal tersebut pernah dilakukan Rasulullah SAW.  "Sesungguhnya Rasulullah pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya."

Nabi SAW juga pernah bersabda, "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."

Selain itu, para ulama bersepakat membolehkan akad gadai (rahn). Terlebih, berdasarkan kaidah fikih, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.  Terkait masalah gadai, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menetapkan Fatwa Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai).

Dalam fatwa itu ditetapkan, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

Pertama, murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Kedua, marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. "Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya," ujar Ketua Umum DSN-MUI, KH MA Sahal Mahfudz dalam fatwa itu.

Ketiga, pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

Keempat, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Kelima, apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

"Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah," papar Kiai Sahal. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

Lalu bagaimana jika terjadi sengketa? Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, fatwa itu mengatur agar diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan.

Dalam fatwa itu, para ulama mendorong agar lembaga keuangan syariah (LKS) di Tanah Air merespons kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Selain itu, para ulama mengimbau agar proses gadai barang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Kufur Nikmat dan Bakhil

(Tafsir QS al-‘Adiyat [100]: 1-11)
وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا، فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا، فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا، فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا، فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا، إِنَّ الإنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ، وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ، وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ، أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ، وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ، إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ.
Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Lalu ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya. Sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya pada harta. Apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada? Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka (QS al-‘Adiyat [100]: 1-11).
Nama surat ini diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama. Surat yang terdiri dari sebelas ayat ini tergolong Makiyyah. Demikian menurut Ibnu Mas’ud, Jabir, al-Hasan, ‘Ikrimah dan ‘Atha’.1
Tafsir Ayat:
Allah SWT berfirman: Wa al-‘âdiyât dhab-h[an] (Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah). Ayat ini diawali dengan wâwu al-qasam. Al-muqsam bih (obyek yang dijadikan sebagai sumpah)-nya ada beberapa. Pertama: al-‘âdiyât dhab-h[an]. Kata al-‘âdiyât berasal dari al-‘âdiwât. Kemudian huruf al-wâwu berubah menjadi huruf al-yâ’ karena didahului dengan kasrah. Kata al-‘âdiyât merupakan ism al-fâ’il dari kata al-‘adwu yang berarti al-maysî’ bi sur’ah (berjalan dengan cepat). Jadi, pengertian al-‘âdiyah adalah al-jâriyah bi sur’ah (yang berlari dengan kencang). Meskipun ada yang menafsirkannya sebagai unta, tafsiran yang lebih rajih menurut jumhur adalah kuda. Bahkan lebih spesifik, itu adalah salah satu jenis kuda para tentara perang di jalan Allah SWT yang berlari kencang menuju musuh.2 Menurut ath-Thabari, kesimpulan ini ditandai dengan ungkapan kata berikutnya: dhab-h[an] yang merujuk pada kuda.3
Kata dhab-h[an] adalah suara nafas kuda itu ketika berlari kencang. Ditegaskan Fakhruddin ar-Razi bahwa suara itu bukanlah suara ringkikan kuda, namun suara nafas kuda yang sedang berlari kencang itu.4 Dengan demikian, al-muqsam bih dalam ayat ini adalah salah satu jenis kuda tentara perang di jalan Allah SWT yang berlari kencang menuju musuh. Demikian kencangnya, hingga suara nafas kuda itu pun terdengar terengah-engah.
Kedua: fa al-mûriyât qad-h[an] (dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan [kuku kakinya]). Kata al-mûriyât merupakan ism al-fâ’il dari kata al-îrâ’ yang berarti ikhrâj an-nâr (mengeluarkan api). Adapun al-qad-h bermakna adh-dharb wa ash-shakk (memukul dan menghantam).5 Dikatakan: qadaha fa awraya apabila mengeluarkan api; dan dikatakan: qadaha fa ashlada apabila tidak mengeluarkan api.6
Menurut jumhur mufassir, al-muqsam bih dalam ayat ini belum beranjak dari kuda, yakni kuda yang mencetuskan api dari hantaman kuku-kuku kakinya terhadap batu. Api yang dicetuskan itu disebut sebagai nâr al-habâbib (api kunang-kunang).7 Penafsiran demikian juga dikemukakan oleh ‘Ikrimah, ‘Atha’, al-Dhahhak, Muqatil dan al-Kalbi. Mereka menafsirkan al-mûriyât dalam ayat ini sebagai kuda yang mengeluarkan api dengan kuku-kukunya ketika berjalan di bebatuan.8 Al-Zujjaj mengatakan: Apabila kuda berlari kencang pada malam hari dan kuku-kuku kakinya menginjak batu, maka tercetuslah api darinya.9
Dalam ayat berikutnya disebutkan: fa al-mughîrât sub-h[an] (dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi). Kata al-mughîrât merupakan bentuk ism al-fâ’il yang berasal dari al-ighârah. Dijelaskan al-Alusi, kata tersebut berasal dari aghâra ‘alâ al-‘aduw, yang berarti hajama ‘alayhi baghtah bi khaylihi (menyerbu musuh secara tiba-tiba dan tidak terduga dengan kudanya), baik untuk merampas, membunuh, atau menawan.10 Adapun subh[an] berarti waktu pagi.
Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan kebanyakan mufassir, maksud ayat ini adalah kuda bersama pengendaranya yang menyerang musuh di waktu pagi.11 Menurut al-Alusi, ini merupakan kebiasaan yang dilakukan. Pada malam hari mereka berjalan cepat agar musuh tidak mengetahuinya. Pagi harinya mereka menyerang musuh agar bisa melihat apa yang datang dan apa yang pergi; dan mereka pun bisa berperang dalam keadaan tersebut.12 Juga dijelaskan al-Qurthubi, jika mereka ingin menyerang maka mereka berjalan pada malam hari. Mereka mendatangi musuh pada waktu pagi hari. Sebab, itu adalah waktu kelengahan manusia.13
Kemudian disebut al-muqsam bih berikutnya: fa atsarna bihi naq’[an] (maka ia menerbangkan debu). Kata al-itsârah (bentuk masdhar dari atsâra) berarti at-tahyîj wa at-tahrîk (menggerakkan dan menerbangkan). Adapun al-naq’u adalah al-ghubâr (debu).14 Artinya, serangan secara tiba-tiba kepada musuh di waktu subuh itu membuat debu-debu yang diinjak oleh kuda itu menjadi beterbangan.
Al-muqsam bih terakhir disebut dalam ayat selanjutnya: fawasathna bihi jam’[an] (dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh). Kata al-wasth berarti di tengah-tengah. Adapun jam’[an] berarti jumû’ al-‘duww (kumpulan musuh).15 Artinya, kuda-kuda itu beserta penunggangnya menyerbu ke tengah-tengah musuh.
Dengan semua itulah Allah SWT bersumpah. Kemudian Allah SWT menyebutkan jawâb al-qasam yang merupakan al-muqsam ‘alayh (perkara yang ditegaskan dengan sumpah yang diucapkan) dengan firman-Nya: Inna al-insân li Rabbihi lakanûd (Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya). Menurut al-Biqa’i, al-kanûd berarti kufrân al-ni’mah. Yang dimaksud di sini—dengan ungkapan dalam bentuk al-mubâlaghah—adalah orang yang meremehkan yang sedikit, tidak mensyukuri yang banyak, melupakan kenikmatan yang banyak karena adanya ujian yang sedikit, dan mencela Tuhannya pada saat marahnya yang paling ringan.16
Ibnu Abbas, Mujahid dan Qatadah juga mengatakan: lakanûd adalah lakafûr juhûd li ni’amil-Lâh ta’âlâ (ingkar kepada kenikmatan-kenikmatan Allah).17 Tidak jauh berbeda, al-Hasan juga memaknai al-kanûd sebagai mengingat musibah dan melupakan kenikmatan.18
Ditegaskan ar-Razi bahwa al-kanûd itu tidak keluar dari kufur atau fasik. Karena demikian faktanya, maka tidak bisa diterapkan untuk seluruh manusia; namun hanya untuk orang kafir tertentu. Kalaupun diterapkan untuk seluruh manusia, harus dimaknai bahwa seluruh manusia memiliki tabiat demikian kecuali orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan taufik Allah SWT.19
Kemudian ditegaskan dalam ayat berikutnya: Wa innahu ‘alâ dzâlika lasyahîd (dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan [sendiri] keingkarannya). Ada perbedaan pendapat di kalangan para mufassir dalam memahami ism al-dhamîr ghâib dalam ayat ini. Sebagian mufassir menyatakan bahwa dhamîr tersebut kembali kepada manusia. Alasannya, dhamîr tersebut kembali pada ayat sebelumnya. Dengan demikian, manusia pun menyaksikan diri mereka itu bersikap demikian. Sebagian lainnya berpendapat, dhamîr tersebut adalah Allah SWT, Zat Yang Mahatahu; Dia menyaksikan semua perilaku manusia, termasuk sikap kufur nikmat pada diri manusia.
Sifat buruk manusia lainnya disebut dalam ayat berikutnya: wa innahu lihubb al-khayri lasyadîd (dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya pada harta). Pengertian al-khayr di sini adalah harta. Pengertian ini juga terdapat dalam QS al-Baqarah [2]: 180 dan al-Ma’arij [70]: 21. Penyebutan tersebut disebabkan karena manusia menganggap harta yang pada pada diri mereka sebagai khayr[an] (kebaikan). Ini sebagaimana penyebutan apa yang didapatkan mujahid berupa luka dan sakitnya perang sebagai sû’ (keburukan) dalam QS Ali Imran [3]: 174.20
Adapun lasyadid berarti laqawiyy fî hubbihi li al-mâl (kecintaannya terhadap harta sangat kuat).21 Menurut al-Zujjaj, karena kecintaannya terhadap harta itu, maka mereka bersikap bakhil.22
Kemudian mereka diingatkan dengan firman-Nya: Afalâ ya’lamu idzâ bu’tsira mâ fî al-qubûr (Apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur). Pengertian bu’tsira adalah utsîra wa ukhrija (dibangkitkan dan dikeluarkan). Adapun mâ fî al-qubûr artinya dari kematian.23 Dengan demikian, ayat ini mengingatkan mereka bahwa mereka akan dibangkitkan dan dihidupkan setelah mati.
Tak hanya dihidupkan, namun juga: wa hushshila mâ fî al-shudûr (dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada). Menurut al-Qurthubi, pengertian ayat ini adalah diperlihatkan apa yang ada di dalam dada, yang baik maupun yang buruk. Dalam ayat ini hanya disebutkan a’mâl al-qalb (perbuatan hati), sementara a’mâl al-jawârih (perbuatan anggota badan) tidak disebutkan. Pada faktanya, perbuatan anggota tubuh sesungguhnya mengikuti perbuatan hati. Sebab, seandainya tidak ada motivasi dan keinginan dalam hati, maka tidak akan terjadi a’mâl al-jawârih. Oleh karena itu, Allah SWT telah menjadikan hati sebagai pangkal dalam celaan.24 Menurut as-Samarqandi, ayat ini menjadi dalil bahwa pahala diberikan sesuai dengan niat dan pelaksanaannya.25
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Inna Rabbahum bihim yawmaidz[in] laKhabîr (Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka). Dhamîr hum kembali kepada al-insân. Sekalipun bentuknya mufrad (kata tunggal), namun maknanya jamak.26 Al-Zujjaj dan al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap mereka pada hari itu dan lainnya. Namun, pengertian ayat ini bahwa Dia membalas mereka atas kekufuran mereka pada hari itu.”27
Nikmat, Syukur dan Akhirat
Atas semua kenikmatan, semestinya manusia bersyukur kepada Allah SWT. Syukur itu diimplementasikan dalam bentuk ibadah kepada-Nya; tunduk dan patuh terhadap semua syariah-Nya, termasuk syariah-Nya tentang harta; tidak bakhil dan merasa berat mengeluarkan sebagian hartanya untuk menjalankan perintah-Nya.
Akan tetapi, amat disayangkan, tidak sedikit manusia yang bersikap sebaliknya. Sebagaimana disitir surat ini, mereka mengingkari kenikmatan Allah SWT. Kalaupun ada yang diingat dari Allah, justru musibah yang tidak mereka sukai, yang belum tentu juga buruk bagi mereka. Tak hanya itu, akibat kecintaan mereka yang berlebihan terhadap harta membuat mereka pun bakhil terhadap harta yang diberikan kepada dia. Mereka seolah lupa, bahwa harta yang mereka miliki itu berasal dari Allah SWT. Dia pun berkuasa mencabut semua itu kapan pun. Sebagaimana pula Dia juga berkuasa mengganti harta yang telah diinfakkan dengan balasan yang jauh lebih besar.
Surat ini pun memberikan peringatan keras, bahwa manusia tidak dibiarkan begitu saja. Semuanya akan dibangkitkan lagi pada Hari Kiamat. Pada hari itu, mereka harus mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan selama di dunia; termasuk di dalamnya, kekufuran dan kebakhilan yang masih tersembunyi dalam hati. Pada hari itulah, semua perkara menjadi terang benderang. Semua orang mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia.
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []