Kamis, 20 Januari 2011

Sejahtera Tanpa Pajak

Kasus mafia pajak yang terjadi di Direktorat Pajak bukan saja membuktikan praktik korupsi yang luar biasa di negeri ini, tetapi juga membuktikan, bahwa pendapatan negara melalui sektor pajak ternyata tidak membawa kesejahteraan rakyat. Alih-alih menyejahterakan, uang pajak yang begitu melimpah dan dibayar oleh rakyat dengan terpaksa dan susah-payah itu nyatanya digarong oleh pengelolanya. Wajar, jika ada gerakan memboikot pajak alias menolak bayar pajak melalui jejaring dunia maya, facebook (Antaranews.com, 29/3/2010).
Kita bisa membayangkan, betapa besarnya pendapatan negara melalui sektor pajak, hingga mencapi 75-80 persen dari total penerimaan APBN. Tahun 2009, Ditjen Pajak telah berhasil membukukan penerimaan pajak sebesar Rp 565,77 triliun atau 97,99 persen dari target (Okezone, 27/1/2010). Untuk tahun 2010 ini, menurut Menkeu Sri Mulyani, target penerimaan negara (lewat pajak) sekitar Rp 742 triliun (JPNN.com, 24/3/2010).
Bandingkan dengan penerimaan negara dari sektor non-pajak. Dalam RAPBN 2009, Pemerintah memperkirakan penerimaan negara sektor non-pajak (PNBP) mampu menyumbang sebesar Rp 295,3 triliun. Target penerimaan sebesar itu diperoleh dari sektor migas (minyak bumi dan gas), sektor pertambangan umum, kehutanan, laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pendapatan dari BLU dan PNBP lainnya. Kenyataan ini membuktikan, bahwa sumber-sumber ekonomi negara yang lain, hanya menyumbang 20-25 persen penerimaan APBN, padahal negeri ini terkenal sangat kaya akan kekayaan alam. Lalu ke manakah larinya semuanya itu?
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kekayaan negara dan rakyat di negeri ini hilang karena praktik korupsi dan manipulasi para pejabat. Namun harus dicatat, bahwa ini hanyalah faktor kecil. Faktor paling besar yang menyebabkan hilangnya kekayaan negara dan rakyat adalah penerapan sistem Kapitalisme, dengan kebijakan liberalisasi ekonomi, termasuk dalam pengelolaan SDA.
Akibatnya, SDA negeri ini banyak dikuasai swasta/asing, tentu saja hasilnya sebagian besar dinikmati oleh mereka. Sebaliknya, negara dan rakyatnya hanya memperoleh sedikit royalti plus deviden dan pajaknya yang tentu jumlahnya jauh lebih kecil. Di sektor pertambangan, emas, misalnya, tahun 2009, negara memperoleh penerimaan pajak dari PT Freeport yang menguasai tambang emas di Papua hanya Rp 13 triliun, plus royalti hanya USD 128 juta dan dividen sebesar USD 213 juta. Padahal PT Freeport Indonesia (PTFI) sendiri meraup laba bersih sebesar USD 2,33 miliar atau setara dengan Rp 22,1 triliun (Inilah.com, 2/12/2009). Itu pun yang dilaporkan secara resmi. Jika rata-rata produksi pertahun 126,6 ton, kalau dikalikan dengan harga emas Rp.245.460/gram maka akan diperoleh pendapatan sebesar Rp31,07 triliun.
Di sektor migas, penerimaan negara juga kecil. Tahun 2010 ini penerimaan migas hanya ditargetkan sekitar Rp 120,5 triliun. Itu tentu lebih kecil dibandingkan dengan porsi yang diperoleh pihak asing. Pasalnya, menurut Hendri Saparani, PhD, 90% kekayaan migas negeri ini memang sudah berada dalam cengkeraman pihak asing.
Tentu, itu belum termasuk hasil dari kekayaan barang tambang yang lain (batubara, perak, tembaga, nikel, besi, dll) yang juga melimpah-ruah. Sayang, dalam tahun 2010 ini, misalnya, Pemerintah hanya menargetkan penerimaan sebesar Rp 8,2 triliun dari pertambangan umum. Lagi-lagi, porsi terbesar pastinya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing yang juga banyak menguasai pertambangan di negeri ini.
Belum lagi jika negara memperhitungkan hasil laut. Menurut S. Damanhuri diperkirakan potensi pendapat dari sektor kelautan sebesar USD 82 miliar. Jika USD 1 sama dengan Rp 10.000, maka dari sektor kelautan saja bisa dihasilkan Rp 820 triliun. Potensi hutan kita juga cukup tinggi. Hasil hutan dalam bentuk kayu pada tahun 2005 saja sebesar Rp 250 triliun.
Selain itu, Pemerintah saat ini memiliki sekitar 160 BUMN. Jumlah BUMN yang meraih laba pada tahun 2003 mencapai 103 perusahaan dengan total laba bersih Rp 25.6 triliun. Namun, 69 persen dari total laba bersih tersebut hanya disumbangkan oleh 10 BUMN saja, sedangkan sebagian besar BUMN sudah go public sehingga sebagian besar laba tersebut tidak masuk ke Pemerintah, tetapi ke pemegang saham swasta. Di sisi lain, ada 47 BUMN yang merugi pada tahun 2003 dengan total kerugian Rp 6.08 triliun. Sebanyak 84.4 persen dari total kerugian BUMN (Rp 5.13 triliun) hanya diakibatkan oleh 10 BUMN.
Jadi kalau dihitung total pendapatan negara di luar pajak adalah: (1) Migas Rp 120,5 triliun; (2) Emas Rp 31,07 triliun; (3) Hasil laut Rp 820 triliun; (4) Hutan Rp 250 triliun; (5) Laba bersih BUMN Rp 25,6 triliun. Dengan demikian, total pendapatan negara dari sektor non-pajak sebesar Rp 1.247.17 triliun. Jika dikurangi pengeluaran APBN-P 2010, sebesar Rp 1.104 triliun, maka negara masih surplus Rp 143.17 triliun, dan tidak perlu memalak rakyat dengan pajak.
Karena itu, negeri ini sesungguhnya tidak memerlukan pajak untuk membiayai dirinya. Sebab, dari hasil-hasil SDA saja, jika sepenuhnya dimiliki/dikuasai negara, maka kas negara akan lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyatnya. Padahal, penerimaan APBN di dalam Islam bukan hanya dari sektor SDA, di sana juga ada sektor lain seperti harta fa’i, ghanîmah, kharaj dan jizyah, harta milik negara, ‘usyr, khumus rikâz, barang tambang, zakat, harta sitaan, dan harta tak bertuan (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, 232). Selain itu, negara juga mempunyai sumber ekonomi yang lain seperti pertanian, perdagangan, industri dan jasa (‘Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla).
Sayang, semuanya itu hanya isapan jempol kalau sistem ekonomi Islam dengan syariahnya tidak pernah diterapkan. Sebab, bukan saja sistemnya terbukti korup, para penyelenggara negaranya juga korup. Selain memperkaya diri sendiri, mereka juga tidak pernah memikirkan nasib rakyatnya. Lihatlah saja, pengeluaran APBN-P 2010 untuk sektor pelayanan publik. Belanja subsidi direncanakan hanya sebesar Rp 144,3 triliun (21% dari belanja Pemerintah Pusat), turun sebesar Rp 15,5 triliun (10%) dibandingkan dengan 2009. Subsidi non-energi dialokasikan hanya sebesar Rp 44,9 triliun (31% dari belanja subsidi), turun sebesar Rp 12,5 triliun (22%). Penurunan belanja subsidi non-energi terbesar pada obat generik (100%) dan pupuk sebesar Rp 7,1 triliun (39%). Program ketahanan pangan hanya dianggarkan Rp 14,252 triliun. Alokasi untuk perlindungan sosial hanya sebesar Rp 3,4 triliun. Sebaliknya, pembayaran pinjaman utang luar negeri yang dimasukan ke dalam skema pembiayaan RAPBN-P 2010 sebesar Rp 16,924 triliun (News.id.finroll.com, 1/4/2010). Anggaran pelayanan di Puskesmas dan jaringannya turun dari Rp 2,64 triliun menjadi hanya Rp 1 triliun (turun 62,12%). Pendidikan dasar turun dari 37,1405 triliun rupiah pada tahun 2009 menjadi Rp 31,704 triliun dalam RAPBN 2010. Subsidi pangan turun dari Rp 12.987,0 M menjadi hanya Rp 11.844,3 M. Subsidi pupuk juga turun dari Rp 18.437,0 M menjadi hanya Rp 11.291,5 M. Belanja bantuan sosial (Jamkesmas, BOS, raskin, dll) juga mengalami penurunan sebesar 11% atau hanya Rp 8,6 triliun. Di sisi lain, 25 persen belanja Pemerintah Pusat digunakan untuk pembayaran pokok utang dan bunganya mencapai Rp 174 triliun.
Pendek kata, hanya sistem Islam di bawah naungan Khilafahlah satu-satunya yang bisa menyejahterakan rakyat. Bukan hanya itu, Khilafahlah satu-satunya negara yang tidak mempunyai tabiat sebagai pemalak, layaknya negara sosialis/komunis maupun kapitalis. [Hafidz Abdurrahman]

Sumber : hizbut-tahrir.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar