Rabu, 27 November 2013

Nasib Dua Golongan yang Berbeda

Oleh: Rokhmat S Labib, M.E.I. 
Orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, Allah menghapus perbuatan-perbuatan mereka. Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka (TQS Muhammad [47]: 1-2).

Dua ayat ini merupakan ayat pertama dalam QS Muhammad. Surat tersebut dinamakan surat Muhammad, diambil dari salah satu lafadz dalam ayat kedua. Dikatakan al-Qurthubi, al-Syaukani, dan al-Alusi, ayat ini juga disebut dengan surat al-Qitâl (Perang). Menurut sebagian besar ulama, surat ini tergolong sebagai Madaniyyah tanpa terkecuali.
Dalam ayat pertama dan kedua ini, Allah SWT menerangkan tentang dua keadaan dua golongan manusia yang bertolak belakang: kaum kafir dan kaum Mukmin.
Kaum Kafir: Dihapuskan Amalnya
Allah SWT berfirman: al-Ladzîna kafarû wa shaddû ‘an sabîlil-Lâh (orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi [manusia] dari jalan Allah). Ayat ini memberitakan tentang orang yang memiliki dua sifat. Pertama, al-ladzîna kafarû.Diterangkan Ibnu Katsir, mereka adalah orang-orang mengingkari ayat-ayat Allah.
Dalam ayat ini tidak disebutkan obyek yang diingkari. Itu menunjukkan kemutlakannya. Artinya, mengingkari perkara yang wajib untuk diimani, baik sebagian maupun keseluruhan. Selain mengingkari Allah SWT dan ayat-ayat-Nya, maka mengingkari malaikat, kitab-kitab-Nya, para nabi dan rasul, hari Kiamat, dan perkara keimanan lainnya termasuk dalam cakupan orang-orang yang ingkar.

Selasa, 26 November 2013

Soal Jawab: Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan




Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir terhadap Pertanyaan di Akun Facebook Beliau

Jawaban Pertanyaan Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan
Kepada Hassan Ali Ali

Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Pertanyaan saya tentang hijab, apakah merupakan kewajiban, disertai dalil, atau dahulunya adat kebiasaaan dan diwajibkan untuk membedakan wanita merdeka dari hamba sahaya. (( jadi hijab pada asalnya adalah tasyri’ yang memiliki kandungan bersifat kelas yang tujuannya membedakan wanita merdeka dari hamba sahaya. Dan inilah yang dipahami oleh sahabat. Sebab dahulu Umar bin al-Khaththab (berkeliling di Madinah, maka ketika ia melihat hamba sahaya berhijab maka Umar memukulnya dengan cemetinya yang terkenal sehingga hijab pun jatuh dari kepala hamba sahaya itu, dan Umar berkata: “kenapa hamba sahaya menyerupai wanita merdeka?” Di akhir saya ingin katakan, pada zaman dimana tidak ada tetangga atau hamba sahaya, dan segala puji hanya bagi Allah, dan sebab diulurkannya jilbab telah gugur. Tidak ada sesuatu di dalam al-Quran dan as-Sunnah yang mengatakan bahwa hijab adalah fardhu karena jilbab itu menghalangi fitnah atau untuk menjaga kesucian diri. Orang yang mengatakan ini maka dia berdosa dan telah membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Perempuan yang mengenakan hijab disebabkan itu adalah bagian dari adat kebiasaan kaumnya atau masyarakatnya, mka ia tidak melakukan kesalahan, selama ia memahami bahwa memakai hijab bukan merupakan kewajiban dari Allah SWT… Akan tetapi perempuan yang mengenakan hijab dan menyerukannya dengan keyakinan bahwa Allah SWT telah memerintahkannya, tidak lain ia melakukan dosa besar sebab menyekutukan dalah hal hukum Allah dengan manusia yang mewajibkan undang-undang yang tidak didatangkan oleh Allah dan tidak pula oleh Rasul-Nya yang mulia, dan ia tersesat dari risalah al-Quran dan jalan yang lurus. Hijab bukan merupakan kewajiban islami akan tetapi merupakan adat kebiasaan kemasyarakatan yang ada sebelum Islam dan tidak ada hubunganya dengan agama-agama sama sekali. Dan diantara perkara paling berbahaya adalah mencampuradukkan antara adat kebiasaan dan ajaran-ajaran dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya yang mulia sebab klaim bahwa suatu adat kebiasaan adalah berasal dari Allah adalah klaim dusta yang menyerupai kesyirikan kepada Allah dan kedustaan terhadap Allah azza wa jalla.))
Saya mohon komentar Anda terhadap ucapan ini. Semoga Allah memberikan keberkahan kepada Anda dan juga memberi petunjuk kepada kami dan Anda.

Jawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Pakaian syar’iy untuk perempuan itu dalil-dalil syara’nya jelas dan gamblang. Pakaian perempuan itu bukan dari sisi adat kebiasaan, sehingga jika masyarakat terbiasa dengannya maka dipakai, dan jika masyarakat tidak terbiasa dengannya maka tidak ada. Akan tetapi pakaian perempuan itu adalah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap perempuan:
Syara’ telah mewajibkan pakaian syar’iy tertentu kepada perempuan ketika keluar dari rumahnya ke kehidupan umum. Syara’ telah mewajibkan atas perempuan agar memiliki pakaian yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar ke pasar, atau berjalan di jalan umum. Syara’ mewajibkan atas perempuan agar ada jilbab, dengan maknanya yang syar’iy, yang ia kenakan di atas pakaiannya dan ia ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Dan jika ia tidak memiliki jilbab, hendaknya ia meminjam jilbab dari tetangganya atau temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak bisa meminjam atau tidak seorang pun meminjaminya maka ia tidak sah keluar tanpa mengenakan jilbab. Dan jika ia keluar tanpa mengenakan jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya maka ia berdosa, sebab ia meninggalkan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah terhadapnya. Ini dari sisi pakaian bawah bagi perempuan. Sedangkan dari sisi pakaian atas maka ia harus mengenakan kerudung, atau yang menyerupai atau menduduki posisinya berupa pakaian yang menutupi seluruh kepala, seluruh leher dan bukaan pakaian di dada. Dan ini hendaknya disiapkan untuk keluar ke pasar, atau berjalan di jalan umum, artinya pakaian kehidupan umum dari atas. Jika ia memiliki kedua pakaian ini, ia boleh keluar dari rumahnya ke pasar atau berjalan di jalan umum, yakni keluar ke kehidupan umum. Jika ia tidak memiliki kedua pakaian ini, ia tidak sah untuk keluar, apapun keadaannya. Sebab perintah dengan kedua pakaian ini datang bersifat umum dan ia tetap berlaku umum dalam semua kondisi sebab tidak ada dalil yang mengkhususkannya sama sekali.
Adapun dalil atas wajibnya kedua pakaian untuk kehidupan umum tersebut, adalah firman Allah SWT tentang pakaian dari atas:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31)

Jumat, 11 Februari 2011

Hukum Pemanfaatan Darah dan Jual Beli Virus

Pertanyaan:
a.       Orang-orang mendonorkan darah secara gratis ke bank darah karena sebab-sebab yang telah diketahui. Bank menguji darah tersebut. Jika darah itu sehat maka digunakan pada orang lain yang sakit. Sebaliknya jika darah tersebut tercemar dan mengandung virus, misalnya virus Hephatitis atau Aids, maka sejumlah darah yang sakit tersebut dihancurkan. Sekarang kami memerlukan darah yang tercemar itu untuk dilakukan percobaan di laboratorium kami. Lalu apakah boleh kami mengambil darah tersebut secara gratis dari bank darah dan melakukan percobaan terhadapnya kemudian darah yang tersisa kami hancurkan dalam bentuk yang tidak membahayakan seorang pun maupun lingkungan?
b.      Pada beberapa kondisi kami melakukan pemurnian virus yang ada di dalam darah melalui tindakan ilmiah yang rumit dan mahal biayanya, sehingga kami memperoleh virus murni. Sebagian kami gunakan di laboratorium kami untuk mengembangkan penelitian ilmiah dalam membuat detektor. Dan sisanya kami jual ke laboratorium lain. Dan pada kondisi di mana kami tidak bisa memperoleh virus murni, maka kami membeli virus murni dari laboratorium lain. Lalu bolehkah memperjual belikan virus tersebut untuk tujuan ini?
Jawab:
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kami jelaskan hal-hal berikut:
1. Darah merupakan najis dan dia haram
Dalil kenajisan darah manusia adalah hadits al-Bukhari dan Muslim dari Asma’ ra., ia berkata:
«جَاءَتْ اِمْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : إِحْدَانَا يُصِيْبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ : تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيْهِ»
Seorang wanita datang kepada Nabi saw dan berkata: “salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haidh, apa yang harus ia perbuat?” Nabi saw bersabda: “ia kupas dan lepaskan darah itu lalu ia kerok dengan ujung jari dan kuku sambil dibilas air kemudian ia cuci kemudian ia shalat dengannya
Bahwa wanita itu diperintahkan untuk mencucinya sebelum ia shalat dengannya adalah dalil kenajisan darah.
Adapun dalil keharamannya, memakan dan meminumnya … adalah firman Allah SWT:
«حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ…»
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, … (QS al-Maidah [5]: 3)
Dan firman Allah SWT:
«قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ»
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-An’am [6]: 145)


Rabu, 09 Februari 2011

Ahmadiyah Berulah (Cermin Kegagalan Penguasa Menjamin Rasa Keadilan Umat Islam)

[Al Islam 543] Bentrokan fisik kembali pecah antara masyarakat dengan jemaat Ahmadiyah, terjadi sekitar pukul 10.30 Wib hari Ahad (6/2/2011), di kampung Pasir Peuteuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Akibatnya tiga orang tewas dan sejumlah lainya luka-luka. Menurut beberapa sumber informasi yang bisa dipercaya, bentrokan dipicu oleh sikap dan pernyataan jemaat Ahmadiyah yang provokatif terhadap masyarakat setempat. Kapolri Timur Pradopo menyatakan para penentang Ahmadiyah adalah warga setempat dan sementara Jemaat Ahmadiyah dibantu sekitar 15 orang yang disinyalir datang dari Bekasi (Republika, 7/2) -menurut sebagian media lain, jumlahnya sekitar 20 orang lebih datang dari Jakarta - dengan maksud mengamankan aset Ahmadiyah dan membela jemaat Ahmadiyah sampai titik darah penghabisan.
Peristiwa itu mendapat sorotan banyak pihak, baik pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat dan LSM bahkan pihak asing. Apalagi ketika peristiwa terjadi, tengah diselenggarakan “World Interfeith Harmony Week” oleh Inter Religious Council (IRC) di Istora Senayan, Jakarta, Ahad (6/2) yang bertujuan mendorong kerukunan dan toleransi serta mengakhiri pertikaian dan kekerasan antar umat beragama.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta semua pihak untuk mematuhi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri mengenai Ahmadiyah (Republika, 8/2). Presiden SBY di Jakarta, Ahad (7/2) mengungkapkan, “Kalau kesepakatan itu diindahkan, dipatuhi, dan dijalankan, bentrokan seperti ini apalagi tindakan kekerasan, sesungguhnya dapat dicegah”. SKB yang dimaksud yaitu SKB (Surat Keputusan Bersama) Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008/ Nomor: 199 Tahun 2008, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008, yang ditandatangani oleh Menag, Jaksa Agung dan Mendagri waktu itu.
Kita tidak habis pikir, kenapa kasus Ahmadiyah tidak kunjung usai? Seolah pemerintah hanya bisa menghimbau, mengevaluasi tapi minus solusi dan langkah tegas. Wajar jika kemudian muncul anggapan, pemerintah tidak konsisten dan “sengaja” melakukan pembiaran atas gesekan-gesekan fisik masyarakat dengan Ahmadiyah. Bahkan “isu Ahmadiyah” seakan sengaja dipelihara dan dijadikan komoditas politik dan kepentingan kelompok tertentu.
Waspadai Politisasi
Sesaat setelah peristiwa “Cikeusik” meletus, ada upaya tertentu untuk memblow-up peristiwa itu -ditambah lagi peristiwa Temanggung-. Peristiwa itu dijadikan bukti untuk mengatakan buruknya toleransi kehidupan beragama di negeri ini. Umat Islam pun kembali menjadi tertuduh.
Peristiwa “Cikeusik” -juga Temanggung- digunakan oleh para pengusung ide-ide sesat sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) untuk mengkampanyekan ide toleransi, pluralisme, dan kebebasan ala mereka. Hal itu tidak aneh, sebab selama ini mereka begitu getol dengan segala cara dan sarana mengkampanyekan ide-de sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Mereka juga getol mendesak pemerintah untuk menjamin pelaksanaan ide-ide itu di tengah masyarakat. Jargon “HAM” pun mereka gunakan untuk melindungi eksistensi kelompok sesat dan menodai keyakinan umat Islam.
Di tahun 2010 kemarin, melalui AKKBP mereka melakukan Judicial Review terhadap undang-undang PNPS No.1 tahun 1965 tentang penodaan agama dan ditolak oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Maka peristiwa “Cikeusik” -juga Temanggung- terlihat jelas upaya politisasi untuk menyuarakan pentingnya “kebebasan beragama” dan mengkambinghitamkan kelompok-kelompok (ormas) yang mereka tuduh menjadi inspirator tindakan kekerasan. Bahkan MUI dan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah mereka tuding menjadi salah satu pemicu kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah.
Tentu saat ini umat harus berfikir kritis dan bersikap waspada atas setiap manuver yang menjadikan umat Islam sebagai pihak tertuduh atas setiap peristiwa kekerasan. Jangan sampai karena merasa tertuduh, umat justru terperangkap menerima ide toleransi, pluralisme, dan kebebasan yang mereka sebarkan itu.
Mengurai Masalah
Jika masalah Ahmadiyah ini diurai, setidaknya ada beberapa penyebab sehingga masalah itu menjadi “bisul” menahun dalam kehidupan kaum muslim di Indonesia.
Pertama, kelompok Ahmadiyah sebagai kelompok sesat tetap dibiarkan eksis dan mengklaim diri bagian dari Islam dan kaum muslim. Padahal kesesatan Ahmadiyah telah menjadi perkara yang disepakati (mujma’ alaihi) dan jelas. MUI telah mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah pada tanggal 1 Juni 1980/17 Rajab 1400H dan ditegaskan lagi pada tahun 2005. Lebih awal, Rabithah Alam Islami (Lembaga Muslim Dunia) telah mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah pada tahun 1974. Usaha dialog dan dakwah yang persuasif kepada mereka selama ini juga tidak dihiraukan dan jemaat Ahmadiyah tetap kukuh dengan keyakinan sesatnya yang menodai keyakinan umat Islam. Mereka pun tetap kukuh mengklaim bagian dari Islam dan umat Islam.
Kedua, keberadaan individu dan kelompok pengusung ide Sepilis yang dengan kedok HAM dan Demokrasi berusaha membela kelompok sesat Ahmadiyah. Keberadaan mereka bisa ikut andil melanggengkan masalah ini, bukan menyelesaikannya. Dalam koridor Demokrasi, kelompok ini menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk bersikap tegas. Apalagi jika para penguasa, cara berfikirnya juga liberal, lebih memperhatikan citra agar dianggap seorang yang demokratis, moderat dan humanis dan meraih dukungan dari pihak asing (Barat).

Sabtu, 29 Januari 2011

Antara Jilbab dan Kerudung

Diasuh Oleh:
Ust M Shiddiq Al Jawi |

Tanya :
Ustadz, apa bedanya jilbab dan kerudung?
Susi, Surabaya


Jawab :
Memang dalam pembicaraan sehari-hari umumnya masyarakat menganggap jilbab sama dengan kerudung. Anggapan ini kurang tepat. Jilbab tak sama dengan kerudung. Jilbab adalah busana bagian bawah (al-libas al-adna) berupa jubah, yaitu baju longgar terusan yang dipakai di atas baju rumahan (semisal daster). Sedang kerudung merupakan busana bagian atas (al-libas al-a'la) yaitu penutup kepala. (Rawwas Qal'ah Jie, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 124 & 151; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu'jam Al-Wasith, 2/279 & 529).

Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas perempuan muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Alquran yang berbeda. Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.
Mengenai jilbab, Allah SWT berfirman (artinya),"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min,'Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' (QS Al-Ahzab: 59). Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa'), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami'a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Walhasil, jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) "mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima'i fil Islam, hal. 45-46).
Jilbab ini merupakan busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum, seperti di jalan atau pasar. Adapun dalam kehidupan khusus, seperti dalam rumah, jilbab tidaklah wajib. Yang wajib adalah perempuan itu menutup auratnya, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, kecuali kepada suami atau para mahramnya (lihat QS An-Nur : 31).