Senin, 17 Januari 2011

Menggadaikan Barang, Apa Hukumnya?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setiap musim masuk sekolah dan hari raya, sebagian masyarakat Indonesia biasa mendatangi pegadaian. Mereka menggadaikan barang berharga yang dimilikinya agar bisa membiayai sekolah putra-putrinya serta bisa merayakan hari raya. Terlebih, biaya pendidikan di Tanah Air setiap tahun terus naik dan kian tak terjangkau.

Menggadaikan barang merupakan solusi yang cepat. Tak heran, jika minat masyarakat untuk menggadaikan barang berharga miliknya sangat tinggi. Dengan menggadaikan barang, mereka bisa menebusnya kembali sehingga barang berharga kesayangan tak akan hilang.

Ajaran Islam membolehkan transaksi gadai barang. Hal tersebut pernah dilakukan Rasulullah SAW.  "Sesungguhnya Rasulullah pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya."

Nabi SAW juga pernah bersabda, "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."

Selain itu, para ulama bersepakat membolehkan akad gadai (rahn). Terlebih, berdasarkan kaidah fikih, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.  Terkait masalah gadai, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menetapkan Fatwa Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (Gadai).

Dalam fatwa itu ditetapkan, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

Pertama, murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Kedua, marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. "Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya," ujar Ketua Umum DSN-MUI, KH MA Sahal Mahfudz dalam fatwa itu.

Ketiga, pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

Keempat, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Kelima, apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

"Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah," papar Kiai Sahal. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar, serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

Lalu bagaimana jika terjadi sengketa? Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, fatwa itu mengatur agar diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan.

Dalam fatwa itu, para ulama mendorong agar lembaga keuangan syariah (LKS) di Tanah Air merespons kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Selain itu, para ulama mengimbau agar proses gadai barang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar