Jumat, 28 Januari 2011

Doa, Ketaatan, dan Hidayah

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (TQS al-Baqarah [2]: 186).
Seorang Muslim yang benar, pasti tidak akan malas berdoa. Sebab, doa adalah ibadah (QS Ghafir [40]: 60). Bahkan dalam Hadits al-Tirmidzi disebut sebagai inti ibadah; al-du'â' mukh al-'ibâdah (doa adalah inti ibadah). Tak hanya itu, Allah juga menjanjikan akan mengabulkan doa yang dipanjatkan hamba-Nya. Tentu saja, untuk itu ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Penjelasan tentang hal tersebut dapat dijumpai dalam ayat ini. 

Allah Dekat dan Mengabulkan Doa
Allah SWT berfirman: Wa idzâ saalaka 'ibâdî 'annî fainnî qarîb (dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka [jawablah], bahwasanya Aku adalah dekat). Huruf al-kâf dalam ayat ini menunjuk kepada Rasulullah SAW. Sedangkan huruf yâ' al-mutakkalim (kata ganti pihak pertama), baik pada 'ibâdî maupun 'annî merujuk kepada Allah SWT. Sehingga, kata 'ibâdî menghasilkan makna umum, yakni semua hamba Allah SWT.

Ayat ini menjelaskan, jika ada hamba yang bertanya tentang Allah SWT, maka dijawab bahwa Dia itu qarîb (dekat). Menurut Sihabuddin al-Alusi, kata al-qurb secara hakiki bermakna dekat dalam pengertian tempat. Maha Suci Allah dari hal tersebut. Oleh karena itu, kata qarîb bermakna majâz. Maknanya, Dia mengetahui semua perbuatan dan ucapan hamba; serta memonitor semua keadaan mereka. Pengertian ini kian jelas jika dikaitkan dengan sebab nuzul ayat ini. Diriwayatkan dari Ubay bahwa kaum Muslim bertanya kepada Nabi SAW: Apakah Tuhan kita itu dekat sehingga cukup berucap dengan pelan ataukah jauh sehingga harus berteriak? Lalu turunlah ayat ini.

Dengan demikian, kata 'dekat' ini berkenaan dengan pengetahuan dan pendengaran Allah SWT terhadap hamba-Nya. Dia mendengar doa mereka dan melihat ketundukan mereka. Imam al-Qurthubi juga memak-nainya bahwa Dia memberikan pahala bagi ketaatan dan mengabulkan orang yang berdoa. Juga, mengetahui apa yang dikerjakan hamba-Nya, seperti puasa, shalat, dll. Pendapat senada dikemukanan al-Zamakhsyari yang menyatakan bahwa kata qarîb merupakan tamtsîl (perumpamaan) untuk menunjukkan kemudahan dikabulkannya doa. Menurut Fakhruddin al-Razi, hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah SWT: Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (TQS al-Hadid [57]: 4). Juga firman Allah SWT: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (TQS Qaf [50]: 11).



Pengertian tersebut kian dikukuhkan dengan frasa berikutnya: Ujîb da'wata al-dâ'i idzâ daâni (Aku mengabulkan permo-honan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku). Bahwa manusia tidak perlu khawatir doanya sia-sia dan tidak terdengar oleh-Nya. Sebab, Allah SWT bukan hanya dekat, namun juga akan mengabulkan doa yang dipanjatkan hamba-Nya. Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah SWT: Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu (TQS Ghafir [40]: 60).

Pengertian dikabulkan di sini bukan berarti selalu memenuhi apa yang diminta oleh hamba yang berdoa. Ada tiga jenis terkabulnya doa. Rasulullah bersabda: Tak seorang Muslim pun yang berdoa kepada Allah dengan suatu doa yang di dalamnya tidak dosa dan memutuskan silaturahmi, kecuali Allah akan memberinya salah satu dari tiga perkara, yaitu bisa jadi Allah akan mempercepat terkabulnya doa itu saat di dunia; atau Allah akan menyimpan terkabulnya doa di akhirat kelak, dan bisa jadi Allah akan memalingkan keburukan darinya sesuai dengan kadar doanya. (HR. Ahmad, al-Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad). 

Beriman dan Mematuhi Perintah-Nya

Setelah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya, kemudian Allah SWT berfirman: fa'lyastajîbû lî (maka hendaklah mereka itu memenuhi [segala perintah] Ku). Menurut al-Khazin, kata al-ijâbah secara bahasa bermakna al-thâ'ah (ketaatan). Jika berasal dari hamba, al-ijâbah adalah ketaatan. Sedangkan jika berasal dari Allah SWT, berupa pahala dan pemberian.

Senada dengan itu, Ibnu Jarir al-Thabari, memaknai frase ini dengan fa'lyastajîbû lî bi al-thâ'ah (hendaklah mereka memenuhi-Ku dengan ketaatan). Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh al-Samarqandi dalam tafsirnya. Sedang-kan al-Zamakhsyari, al-Nasafi, al-Khazin, dan al-Baidhawi menafsirkan frase dengan lebih luas. Menurut mereka, frase ini berarti: fa'lyastajîbû lî (hendaklah mereka memenuhi-Ku) ketika Aku memanggil mereka untuk beriman dan taat; sebagaimana Aku juga telah mengabulkan permintaan mereka kepada-Ku untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian, hamba diperintahkan untuk terikat dengan syariah; menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Allah SWT juga memerintahkan: walyu'minû bî (dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku). Dijelaskan al-Biqa'i bahwa yang diperintahkan ayat ini adalah keimanan mutlak atau keimanan yang benar. Sekalipun yang disebutkan hanya beriman kepada-Nya, namun yang dimaksud adalah beriman terhadap semua perkara yang wajib diimani. Jika sudah beriman, maka harus menjaga keimanannya. Sebagaimana dijelaskan al-Baidhawi, frasa ini merupakan perintah untuk teguh dan konsisten di atasnya.

Ayat ini pun diakhiri dengan firman Allah SWT: la'alla-hum yarsyudûn (agar mereka selalu berada dalam kebenaran). Kata al-rasyd (petunjuk) lawan dari kata al-ghay (sesat). Al-Harawi, sebagaimana dikutip al-Syaukani, menyatakan bahwa kata al-rusyd wa al-rasyâd wa al-rasyâd bermakna al-hudâ wa al-istiqâmah (petunjuk dan lurus). Tidak jauh berbeda, al-Alusi memaknai la'allahum yahtadûn (agar mereka mendapatkan petunjuk). Itu berarti, siapa pun yang ingin hidupnya lurus dan berada di atas petunjuk, maka harus mengikuti syariah-Nya.

Tampak jelas ada keterkaitan antara terkabulnya doa dengan ketaatan. Jika seorang hamba mengharapkan doanya dikabulkan Allah SWT, sudah semestinya dia pun harus memenuhi perintah-Nya, baik dalam aspek aqidah (keimanan) maupun dalam aspek syariah (hukum). Keterkaitan itu juga dijelaskan dalam hadits riwayat al-Bukhari di atas. Bahwa doa yang dikabulkan adalah doa yan tidak ada di dalamnya maksiat dan memutuskan silaturrahim. Dalam hadits al-Tirmidzi dan Ahmad dari Abu Hurairah jika diceritakan seseorang yang tidak dikabulkan doanya. Rasulullah menyebutkan: Seorang laki-laki yang telah lama melakukan perjalanan, rambutnya kusut dan berdebu, ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya memohon: "Ya Tuhanku, ya Tuhanku," padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya juga haram dan sumber makanannya juga dari yang haram maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya." Semoga kita tidak seperti orang yang diceritakan dalam hadits ini. WalLâh a'lam bi al-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar