Peristiwa itu mendapat sorotan banyak pihak, baik pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat dan LSM bahkan pihak asing. Apalagi ketika peristiwa terjadi, tengah diselenggarakan “World Interfeith Harmony Week” oleh Inter Religious Council (IRC) di Istora Senayan, Jakarta, Ahad (6/2) yang bertujuan mendorong kerukunan dan toleransi serta mengakhiri pertikaian dan kekerasan antar umat beragama.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta semua pihak untuk mematuhi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri mengenai Ahmadiyah (Republika, 8/2). Presiden SBY di Jakarta, Ahad (7/2) mengungkapkan, “Kalau kesepakatan itu diindahkan, dipatuhi, dan dijalankan, bentrokan seperti ini apalagi tindakan kekerasan, sesungguhnya dapat dicegah”. SKB yang dimaksud yaitu SKB (Surat Keputusan Bersama) Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008/ Nomor: 199 Tahun 2008, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008, yang ditandatangani oleh Menag, Jaksa Agung dan Mendagri waktu itu.
Kita tidak habis pikir, kenapa kasus Ahmadiyah tidak kunjung usai? Seolah pemerintah hanya bisa menghimbau, mengevaluasi tapi minus solusi dan langkah tegas. Wajar jika kemudian muncul anggapan, pemerintah tidak konsisten dan “sengaja” melakukan pembiaran atas gesekan-gesekan fisik masyarakat dengan Ahmadiyah. Bahkan “isu Ahmadiyah” seakan sengaja dipelihara dan dijadikan komoditas politik dan kepentingan kelompok tertentu.
Waspadai Politisasi
Sesaat setelah peristiwa “Cikeusik” meletus, ada upaya tertentu untuk memblow-up peristiwa itu -ditambah lagi peristiwa Temanggung-. Peristiwa itu dijadikan bukti untuk mengatakan buruknya toleransi kehidupan beragama di negeri ini. Umat Islam pun kembali menjadi tertuduh.
Peristiwa “Cikeusik” -juga Temanggung- digunakan oleh para pengusung ide-ide sesat sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) untuk mengkampanyekan ide toleransi, pluralisme, dan kebebasan ala mereka. Hal itu tidak aneh, sebab selama ini mereka begitu getol dengan segala cara dan sarana mengkampanyekan ide-de sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Mereka juga getol mendesak pemerintah untuk menjamin pelaksanaan ide-ide itu di tengah masyarakat. Jargon “HAM” pun mereka gunakan untuk melindungi eksistensi kelompok sesat dan menodai keyakinan umat Islam.
Di tahun 2010 kemarin, melalui AKKBP mereka melakukan Judicial Review terhadap undang-undang PNPS No.1 tahun 1965 tentang penodaan agama dan ditolak oleh MK (Mahkamah Konstitusi). Maka peristiwa “Cikeusik” -juga Temanggung- terlihat jelas upaya politisasi untuk menyuarakan pentingnya “kebebasan beragama” dan mengkambinghitamkan kelompok-kelompok (ormas) yang mereka tuduh menjadi inspirator tindakan kekerasan. Bahkan MUI dan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah mereka tuding menjadi salah satu pemicu kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah.
Tentu saat ini umat harus berfikir kritis dan bersikap waspada atas setiap manuver yang menjadikan umat Islam sebagai pihak tertuduh atas setiap peristiwa kekerasan. Jangan sampai karena merasa tertuduh, umat justru terperangkap menerima ide toleransi, pluralisme, dan kebebasan yang mereka sebarkan itu.
Mengurai Masalah
Jika masalah Ahmadiyah ini diurai, setidaknya ada beberapa penyebab sehingga masalah itu menjadi “bisul” menahun dalam kehidupan kaum muslim di Indonesia.
Pertama, kelompok Ahmadiyah sebagai kelompok sesat tetap dibiarkan eksis dan mengklaim diri bagian dari Islam dan kaum muslim. Padahal kesesatan Ahmadiyah telah menjadi perkara yang disepakati (mujma’ alaihi) dan jelas. MUI telah mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah pada tanggal 1 Juni 1980/17 Rajab 1400H dan ditegaskan lagi pada tahun 2005. Lebih awal, Rabithah Alam Islami (Lembaga Muslim Dunia) telah mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah pada tahun 1974. Usaha dialog dan dakwah yang persuasif kepada mereka selama ini juga tidak dihiraukan dan jemaat Ahmadiyah tetap kukuh dengan keyakinan sesatnya yang menodai keyakinan umat Islam. Mereka pun tetap kukuh mengklaim bagian dari Islam dan umat Islam.
Kedua, keberadaan individu dan kelompok pengusung ide Sepilis yang dengan kedok HAM dan Demokrasi berusaha membela kelompok sesat Ahmadiyah. Keberadaan mereka bisa ikut andil melanggengkan masalah ini, bukan menyelesaikannya. Dalam koridor Demokrasi, kelompok ini menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk bersikap tegas. Apalagi jika para penguasa, cara berfikirnya juga liberal, lebih memperhatikan citra agar dianggap seorang yang demokratis, moderat dan humanis dan meraih dukungan dari pihak asing (Barat).
Ketiga, ketidaktegasan pemerintah. SKB tidak dijalankan dan dilanggar, tetapi tidak ada tindakan. Pemerintah pun tidak tegas memposisikan Ahmadiyah, padahal telah jelas menyimpang dan di luar Islam. Di sinilah pemerintah terlihat lalai bahkan “gagal” melindungi keyakinan mayoritas umat Islam.
Yang dibutuhkan adalah kejelasan dan ketegasan pemerintah. Pemerintah hanya punya dua pilihan. Pilihan pertama, membiarkan Ahmadiyah seperti semula. Pilihan ini sangat berbahaya. Itu artinya masalah Ahmadiyah akan terus terjadi. Bahkan justru akan mengakumulasi rasa ketidakadilan dan ketersinggungan mayoritas umat Islam Indonesia yang merasa akidahnya dinodai oleh kelompok Ahmadiyah. Masalah itu akan menjadi “bara dalam sekam” tinggal menunggu pemantiknya, bisa berkobar makin liar dan tentu akan sangat merugikan bagi kehidupan umat.
Pilihan kedua, bubarkan Ahmadiyah dan jika Ahmadiyah tetap ngotot dengan pendiriannya, maka pemerintah dengan dukungan mayoritas umat Islam bisa menetapkan Ahmadiyah bukan lagi bagian dari Islam dan jemaatnya bukan orang Islam. Mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi mengatakan, Ahmadiyah sebaiknya menjadi agama sendiri yang berada di luar Islam, sebab ajaran itu bermasalah karena mengatasnamakan Islam tetapi tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Seandainya Ahmadiyah menjadi agama sendiri, maka Ahmadiyah itu dalam posisi menjalani hak sebagai warga negara dalam beragama”. Ia menegaskan, “Penodaan agama itu berbeda dengan kebebasan beragama. Ini kadang orang tidak bisa membedakan” (Republika.co.id, 7/2).
Kunci penyelesaian masalah ini bergantung kepada keberanian dan ketegasan pemerintah mengimplementasikan SKB yang ada. Jangan sampai pemerintah bersikap hipokrit. Satu sisi, dalam SKB jemaat Ahmadiyah dinilai beraliran sesat dan tidak boleh menyebarkan keyakinan mereka kepada umat Islam dan bila melanggar akan dikenakan sanksi. Jika masih membandel akan dibubarkan. Tapi, ketika MUI dan masyarakat sudah melaporkan bahwa sampai saat ini jemaat Ahmadiyah masih menjalankan keyakinannya dan tidak berubah sama sekali, pemerintah tidak merespon dan mengambil tindakan semestinya. Tentu ini melahirkan kekecewaan umat.
Maka yang ditunggu umat Islam hingga saat ini adalah bukti dan realisasi dari SKB, bukan sekadar himbauan. Jika tidak, kelompok Ahmadiyah yang jumlahnya tidak sampai 0,01 persen dari penduduk Indonesia itu, akan terus menodai keyakinan umat Islam, mayoritas penduduk negeri ini, dan bahkan terus menjadi pemantik gesekan-gesekan fisik dalam kehidupan beragama, khususnya di tengah umat Islam.
Para penguasa hendaknya merenungkan peringatan Allah SWT:
{ وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ }
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan (QS.Hud:112-113).Wahai Kaum Muslim
Jelas bahwa ide sekularisme, pluralisme, dan liberalisme yang diterapkan di negeri ini adalah ide buruk dan menyebabkan keburukan. Jelas pula bahwa selama pemerintah masih menjunjung ide-ide itu, masalah Ahmadiyah dan penodaan keyakinan umat Islam akan terus terjadi.
Karena itu sudah saatnya, umat Islam menerapkan syariah Islam dan mewujudkan pemerintahan yang menerapkannya. Sehingga semua masalah akan bisa diselesaikan dan keadilan akan dirasakan oleh semua, termasuk non muslim seperti yang telah ditampilkan berabad-abad dalam sejarah kaum muslim. WalLâhu a’lam bi ash-Shawâb.
Komentar al-Islam
BPS: Perekonomian Indonesia tumbuh 6,1 % dan pendapatan per kapita mencapai Rp. 27 juta per tahun (Kompas, 8/2)
1. Faktanya: menurut BPS tahun 2010 rakyat miskin (pendapatan per kapita kurang dari Rp. 2,4 juta per tahun atau Rp. 200 ribu per bulan) 31,02 juta orang; penduduk yang layak menerima beras miskin 70 juta orang; penduduk yang berhak dapat Jamkesmas, 76,4 juta orang.
2. Artinya pertumbuhan dalam sistem ekonomi kapitalis, yang kaya makin kaya, yang miskin makin banyak dan tetap miskin. Terapkan Sistem Ekonomi Islam dalam bingkai Khilafah, dijamin kekayaan terdistribusi dengan adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar