Belum tampak penolakan masyarakat, padahal kebijakan pembatasan subsidi BBM juga berdampak sama dengan kenaikan harga BBM. Setidaknya, ada enam alasan untuk menolak kebijakan itu.
Pertama: Indonesia memiliki cadangan migas yang sangat besar. Tapi, sebagian besar justru dikuasai pihak asing. Data KemESDM 2009, dari total produksi minyak dan kondensat di Indonesia, Pertamina hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Ketika kontrak habis, pemerintah melalui BP Migas malah memperpanjang kontrak itu ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina. Di sisi lain, dalam UU Migas 22/2001, Pertamina diperlakukan sama dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan konsesi pengelolaan ladang migas. Kebijakan ini berkebalikan dengan negara lain seperti Malaysia yang memberikan wewenang sangat besar kepada Petronas sehingga mampu menggeser dominasi swasta. Di Cina dan sejumlah negara Amerika Latin sektor energi sepenuhnya dikuasai oleh negara. Sehingga produksi dan harga di pasar domestik bisa dikendalikan.
Kedua: Bahwa subsidi BBM yang selama ini dianggap membebani APBN dan sering salah sasaran merupakan pernyataan ‘menyesatkan’. Menurut Pemerintah, subsidi BBM adalah selisih harga patokan dikurangi harga eceran yang dijual Pertamina. Pada Perpres 71/2005 disebutkan bahwa Harga Patokan adalah harga yang dihitung setiap bulan berdasarkan MOPS rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah biaya distribusi dan margin. MOPS atau Mid Oil Platt’s Singapore adalah harga transaksi jual-beli pada bursa minyak di Singapura.
Subsidi tersebut dibayarkan Pemerintah kepada Pertamina yang telah menjual BBM dengan harga eceran yang telah ditetapkan Pemerintah yang lebih rendah dari harga patokan (internasional). Pertanyaannya: apakah Pertamina betul-betul rugi karena menjual BBM di bawah harga patokan? Jika biaya produksi dan distribusi lebih rendah dari harga patokan maka Pertamina tentu rugi. Namun, jika lebih tinggi maka Pertamina tetap untung.
Lalu berapa biaya produksi BBM Pertamina untuk Premium dan Pertamax? Karena tidak tersedia data dari Pertamina maka untuk menghitungnya bisa digunakan data persentase komponen harga rata-rata bensin (gasoline RON 95) di USA yang sebanding dengan kualitas Pertamax. Harga Bensin = Minyak Mentah (51%) + biaya pengilangan & keuntungan (15%) + biaya distribusi & pemasaran (12%) + pajak (22%) (http://tonto.eia.doe.gov). Harga minyak mentah Pertamina diperoleh dari biaya produksi, cost recovery (US$ 940,7 juta) dibagi total lifting minyak mentah 2007 sebesar 38,9 juta barel (BPK, Perhitungan Kewajiban Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kkks)). Hasilnya: US$ 24,2/barel atau US$ 0,15/liter atau Rp 1.368 jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.000. Harga ini sebenarnya cukup mahal karena cost recovery Pertamina jauh lebih tinggi daripada rata-rata cost recovery perusahaan minyak Indonesia yang berkisar US$ 13,82/barel pada 2007 (http://www.scribd.com/doc/38206301/Crude-Oil-Cost-Production).
Dengan rumus di atas, harga Pertamax semestinya hanya Rp 2.683/liter. Premium dengan oktan yang lebih rendah tentu lebih murah. Lalu mengapa harga jual Premium dan Pertamax lebih mahal? Ini karena harga minyak mentah diperhitungkan menggunakan harga minyak di pasar internasional meski sebagian besar diproduksi oleh Pertamina sendiri. Dengan demikian, apa yang dianggap kerugian Pertamina yang kemudian diganti oleh Pemerintah bukanlah merupakan kerugian nyata, namun hanya potential loss (hilangnya potensi laba) karena dijual tidak dengan harga internasional. Jika demikian maka dana subsidi Pemerintah sesungguhnya hanya keluar dari kantong kanan dan masuk lagi ke kantong kiri melalui laba yang diperoleh Pertamina.
Ketiga: Pembatasan BBM bersubsidi dalam jangka panjang akan menguntungkan SPBU Perusahaan Minyak Asing, seperti Total, Shell, dan Petronas. Selama ini SPBU-SPBU tersebut mengalami kerugian karena konsumen lebih memilih Premium yang lebih murah, yang dijual oleh SPBU Pertamina. Dengan adanya pembatasan subsidi BBM, maka seluruh pengguna mobil pribadi dipaksa menggunakan bahan bakar yang kadar oktannya lebih tinggi seperti Pertamax atau yang diproduksi oleh SPBU asing. Dengan harga yang lebih murah karena biaya produksi yang lebih efisien dan kualitas yang mungkin lebih baik sangat mungkin konsumen akan memilih produk SPBU asing ketimbang Pertamina. Jika tidak ada inovasi maka kegiatan Pertamina di sektor hilir dipastikan akan makin menurun. Hal ini tentu akan merugikan Pertamina. Sudahlah di sektor hulu tergerus, di sektor hilir pun tersingkir.
Keempat: Kegiatan usaha Pertamina belum berjalan secara efisien khususnya dalam produksi dan pengadaan minyak mentah. Menurut temuan BPK tahun 2008 (BPK, Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2007 dan 2008 (Semester I) pada Pertamina), disebutkan sumber ketidakefisienan Pertamina antara lain: (a) Dalam pengadaan minyak mentah dan BBM, Pertamina cenderung mengimpornya melalui jasa rekanan yang sarat dengan manipulasi sehingga menjadi mahal. (b) Pertamina lebih banyak menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri sehingga biaya angkut lebih mahal. (Pertamina, Annual Report 2007). (c) Dalam jumlah tertentu, Pertamina lebih memilih untuk mengimpor daripada menggunakan produksi dalam negeri yang tidak membutuhkan biaya pengapalan. (d) Pertamina mengimpor BBM karena keterbatasan kapasitas kilang yang hanya sebesar 1 juta barel perhari, hanya memenuhi 63% kebutuhan dalam negeri. Padahal dengan memproduksi sendiri biayanya akan lebih murah sehingga harga minyak yang dijual akan lebih rendah.
Kelima: Pembatasan subsidi BBM merupakan langkah bertahap Pemerintah untuk menghapus subsidi BBM. Dan ini akan menekan daya beli masyarakat khususnya masyarakat miskin. Pembatasan subsidi BBM yang diikuti dengan pemaksaan mobil plat hitam untuk mengkonsumsi Pertamax dipastikan akan makin membebani rakyat. Harga Pertamax mengikuti harga pasar internasional (seperti sekarang dengan harga minyak internasional di atas 90 USD/barel, harga Pertamax di atas Rp 7000). Padahal harga tersebut banyak dipengaruhi oleh kegiatan spekulasi. Membiarkan harga tidak terkendali akan membuat pengeluaran rakyat untuk BBM membengkak. Padahal tidak semua mobil plat hitam digunakan untuk transportasi pribadi. Sebagian besar angkutan barang termasuk bahan makanan saat ini masih menggunakan plat hitam. Maka, penggunaan BBM non subsidi secara pasti membuat harga barang ikut naik. Jika hal itu terjadi maka kehidupan masyarakat akan semakin sengsara akibat makin mahalnya biaya hidup.
Keenam: Pembatasan BBM dan kebijakan memberikan peran lebih besar kepada pihak asing dalam pengelolaan migas merugikan rakyat, dan ini bertentangan syariah Islam. Migas dan sumber daya alam lain yang melimpah dalam pandangan Islam merupakan milik rakyat yang harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Pengelolaan SDA dengan lebih banyak menyerahkan kepada pihak swasta adalah kebijakan yang sangat kapitalistik. Kapitalisme adalah sistem batil, dan karenanya harus diganti dengan sistem Islam dalam Khilafah. Khilafah akan menerapkan seluruh syariah Islam dalam kehidupan bernegara, termasuk dalam pengelolaan migas. Dalam Khilafah, kepala negara (Khalifah) bertanggung jawab mengurus segala urusan rakyatnya. Pihak swasta boleh berperan, tapi dalam sektor yang tidak menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Maka, kerahmatan akan dirasakan seluruh rakyat.
الإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) yang memimpin manusia adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).Wallahu a’lam bi ash-shawab. []
Komentar al-islam:
RI: Serangan Alexandria (Mesir) Bukti Terorisme Masih Mengancam (Antara, 4/1/2011).
Mengapa tidak berani menyatakan bahwa Amerika Serikat dan Israel adalah teroris negara, yang tidak hanya mengancam, tetapi terus menebar teror dengan banyak membunuh kaum Muslim di Irak, Afganistan, Palestina dsb. Inilah kedustaan atas nama terorisme sekaligus menunjukkan sikap paranoid para penguasa Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar