[Al Islam 526] Banjir kembali melanda sejumlah wilayah di Tanah Air akhir-akhir ini. Yang paling memprihatinkan adalah banjir bandang yang terjadi di Kota Wasior, Kabupaten Teluk Wondama Papua Barat. ‘Banjir Wasior’ benar-benar menyisakan duka dan derita yang mendalam. Betapa tidak. Dari data terakhir Kemenkokesra, tercatat sebanyak 145 orang meninggal, 185 luka berat, 535 luka ringan dan 103 orang masih dicari. Adapun sebaran pengungsi berjumlah 1.859 orang di Manokwari dan 135 orang di Kabupaten Nabire (Republika.com, 11/10/10).
Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari. Wilayah ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut dan darat. Pusat kabupaten ada di Wasior. Luas wilayah administratif kabupaten ini adalah 12.146,62 km2. Jumlah penduduknya sekitar 20.518 jiwa. Di wilayah ini terdapat kawasan Hutan Suaka Alam Gunung Wondiboi dan kawasan Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih yang membentang dari Timur Semenanjung Kwatisore sampai bagian Utara Pulau Rumberpon. Namun, di wilayah ini juga ada konsensi (penguasaan) atas hutan oleh PT Wapoga MutiaraTimber dan PT Dharma Mukti Persada.
Banjir: Bencana Rutin
Bencana banjir kini seolah menjadi pemandangan rutin dan biasa di negeri ini. Belakangan banjir bahkan makin meningkat baik frekuensi maupun cakupannya. Hampir semua bencana banjir di negeri ini terjadi akibat air sungai yang meluap saat musim hujan. Menurut Bappenas, di Jakarta saja kerugian akibat satu kali banjir pada tahun 2007 adalah sekitar Rp 8 triliun. Belakangan, di Kabupaten Bojonegoro, banjir bandang pada lima bulan terakhir di tahun 2010 sudah terjadi lebih dari 17 kali. Sebagian besar banjir adalah karena hujan deras yang airnya tidak bisa ditampung di 23 anak sungai Bengawan Solo akibat kerusakan hutan di bagian hulu DAS. Demikian pula banjir yang diikuti longsor yang terjadi NTT (Kompas, 6/7/10).
Menurut Ketua Hijau Indonesia Chalid Muhammad, enam bulan terakhir sudah terjadi 9 kali bencana banjir besar yang disebabkan perubahan fungsi hutan menjadi kawasan industri baik sawit, kayu maupun pertambangan. Banjir bandang Wosior adalah yang terparah karena memakan korban jiwa yang sangat besar. (Walhi.or.id).
Akibat Hutan Dibabat Habis
Menurut Presiden SBY, penyebab banjir di Wasior bukan pembalakan hutan liar, tetapi pengaruh alam; curah hujan tinggi sekali dan perubahan cuaca yang sangat terasa. Menteri Kehutanan juga menepis tudingan pembalakan liar di balik bencana di Wasior (Okezone.com, 10/10/10).
Namun, menurut Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Berry Nahdian Furqan, banjir di Wasior karena kerusakan lingkungan. Menurut dia, bencana itu karena faktor alam yang rentan akibat eksploitasi oleh manusia dengan intensitas sangat tinggi. Akibatnya, ketika curah hujan tinggi, banjir bandang tak bisa dihindari (Metrotvnews.com, 9/10/10).
Walhi menduga dua perusahaan, yakni PT Wapoga Mutiara Timber dan PT Dharma Mukti Persada, adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Walhi juga menduga telah terjadi perambahan hutan di kawasan Hutan Suaka Alam Gunung Wondiboi. Selain itu, illegal loging (pembalakang hutan secara liar) juga dilakukan para cukong kayu yang memanfaatkan program Kopermas.
Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua di Jayapura, Septer Manufandu, juga menyatakan bahwa banjir bandang di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, terjadi akibat kerusakan lingkungan. Hutan di wilayah itu telah dibabat habis. Akibatnya, saat hujan datang, tanah tak bisa menyerap air dan menimbulkan bencana. Di belakang Kota Wasior itu ada sebuah telaga. Telaga itu hancur dan menciptakan banjir. Jika saja ada hutan di sekitar itu, air mungkin bisa saja diserap ke dalam tanah (Tabloidjubi.com, 11/11/10).
Merujuk pada kompilasi data dari berbagai sumber yang dilakukan Institut Hijau Indonesia dan Yayasan Yappika di awal tahun 2010, Papua Barat rentan mengalami bencana ekologis. Hal itu karena luas hutan primer Papua Barat 5.154.068 hektar dan hutan sekunder seluas 1.465.655 hektar mengalami ancaman alih fungsi yang sangat besar. Tahun 2005-2009 analisis citra satelit menunjukkan telah terjadi deforestasi (penyusutan areal hutan) seluas 1.017.841,66 hektar atau berkisar 254.460,41 hektar pertahun; menyumbang 25% dari penyusutan luas hutan nasional.
Ancaman bencana ekologis di Papua Barat terutama disumbang oleh sektor industri ekstraktif termasuk Hak Penguasaan Hutan (HPH), Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Pertambangan Minyak dan Gas. Saat ini Pemerintah Pusat telah memberikan izin eksploitasi bagi: 20 perusahaan HPH dengan total luas 3.568.080 hektar hutan di Papua Barat; 16 perusahaan tambang mineral dan batubara dengan total luas 2.701.283 hektar hutan; 13 perusahaan tambang minyak dan gas dengan total luas konsesi 7.164.417 hektar hutan. Sejumlah perusahaan perkebunan juga telah mendapat konsesi seluas 219.021 hektar di Papua Barat. Jika seluruh perusahaan yang mengantongi izin ini menyegerakan kegiatan eksploitasinya maka bencana demi bencana di Papua Barat akan terjadi silih-berganti. Korban jiwa dan harta benda pun akan semakin besar (Walhi.or.id).
Tak hanya di Papua Barat, pembabatan hutan baik secara legal maupun ilegal juga terjadi merata di seluruh area hutan di negeri ini. Hal itu telah berlangsung puluhan tahun. Sebagaimana diketahui, sebelum mengalami kerusakan parah, areal hutan Indonesia termasuk yang paling luas di dunia; sebagian besar adalah hutan hujan tropis yang kaya dengan aneka flora dan fauna. Menurut World Bank (1994), Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasifik, yaitu lebih dari 115 juta hektar. Namun, hingga 2001 saja, hanya dalam kurun 50 tahun, hutan alam Indonesia mengalami penurunan luas sebesar 64 juta hektar (55%). Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan tingkat deforestasi (penyusutan areal hutan) tercepat di dunia, dengan tingkat kehilangan lahan hutan setara 300 kali lapangan sepak bola dalam setiap jamnya! Penyempitan luas hutan yang luar biasa ini terutama akibat penebangan oleh sejumlah perusahaan besar pemilik HPH (Kompas, 10/02/2001).
Eksploitasi hutan oleh pengusaha HPH ini telah mengakibatkan kerusakan hutan yang parah di Sumatera pada tahun 2005 saja. Di Kalimantan, jika tidak ada langkah pencegahan, diramalkan hutan di sana akan punah tidak sampai sepuluh tahun ke depan. Menurut data FAO, yang pernah mengusulkan untuk memasukkan Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia pada catatan “Guinness World Records” (di antara 44 negara lainnya), sisa luas hutan di Indonesia tinggal 88,495 juta hektar dan tingkat kerusakan hutan 1,871 juta hektar atau sekitar 2% pertahun (periode 2000-2005) (Kompas, 5/5/2005).
Itu terjadi selama masa Orde Baru. Ironisnya, sejak bergulirnya era Reformasi dan diterapkannya kebijakan otonomi daerah, laju kerusakan sumberdaya hutan dan lahan justru meningkat; diperkirakan mencapai 2,2 hingga 3,2 juta ha/tahun. Kerusakan hutan yang paling parah terjadi di Pulau Jawa, selain banyak terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Padahal di Pulau Jawa saja, rehabilitasi hutan yang rusak memerlukan waktu 10 hingga 15 tahun (Garut.go.id, 20/12/2005).
Akibatnya mudah diduga. Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Dari 1998-2003 saja tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia; 80%-nya berupa banjir dan longsor yang diakibatkan oleh kerusakan hutan (Jawa Pos, 4/5/2007).
Karena Kemaksiatan dan Sistem yang Batil
Terkait bencana banjir dan yang serupa, di dalam al-Quran Allah SWT tegas menyatakan bahwa berbagai kerusakan di daratan dan di lautan lebih banyak disebabkan karena kemaksiatan manusia:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾
Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Kemaksiatan terbesar tentu saja saat hukum-hukum Allah SWT dicampakkan manusia, tidak diterapkan dalam kehidupan. Saat manusia berpaling dari syariah-Nya, maka kesempitan hiduplah yang bakal mereka rasakan, di antaranya ditimpa berbagai bencana yang menimpa mereka (Lihat: QS Thaha [20]: 124).
Solusi Islam
Pertama: terkait korban Banjir Wasior, Pemerintah serta semua elemen masyarakat harus segera memberikan bantuan. Kedua: Pemerintah segera mengoreksi kebijakan pengelolaan alam di Papua Barat dan di Indonesia secara keseluruhan yang lebih berkeadilan dan ramah sosial dan ramah lingkungan hidup. Ketiga: Pemerintah segera mencabut perizinan-perizinan yang telah diberikan yang berpotensi meningkatkan bencana ekologis dan konflik dengan penduduk lokal. Keempat: Pemerintah segera merumuskan model pembangunan di Papua yang lebih berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat secara merata, termasuk masyarakat penduduk lokal yang selama ini diabaikan.
Lebih dari itu, harus selalu disadari, ketakwaan adalah sumber keberkahan. Sebaliknya, kemaksiatan adalah sumber bencana; baik kemaksiatan dalam bentuk pengrusakan lingkungan (pembalakan hutan secara liar, dsb), atau kemaksiatan yang lebih besar lagi, yakni pengabaian syariah Islam. Semua kemaksiatan itu akan menjadi faktor penyebab berbagai bencana yang menimpa umat secara keseluruhan, tidak hanya menimpa para pelaku kemaksiatan saja (QS al-Anfal [8]: 25).
Maka dari itu, berbagai bencana yang datang silih berganti sejatinya mendorong para penguasa dan rakyat negeri ini untuk segera mencampakkan berbagai kemaksiatan mereka kepada Allah SWT, lalu bersegera menerapkan syariah-Nya secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Itulah bukti sejati ketakwaan mereka dan itulah jalan keberkahan hidup mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).
Secara praktis, untuk mewujudkan semua itu, hendaknya penguasa negeri ini segera menata pemerintahan secara islami, yakni dengan sistem Khilafah Islamiyah yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. []
KOMENTAR AL-ISLAM:
Penduduk 25 Negara Kelaparan (Kompas, 12/10/2010).
Itulah hasil nyata saat dunia dikuasai Kapitalisme global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar